"Iissh.. kenapa bannya pake bocor segala.." gerutu seorang wanita kepada sepedanya. Dia baru saja selesai melakukan pekerjaannya dan kini tengah bersiap untuk pulang ke rumahnya.
Tak mau repot dan berlama-lama mencari bengkel, maka dituntunnyalah sepeda berkeranjang itu menyusuri jalanan setapak kecil yang menuju ke satu rumah yang ada di ujung jalan.
Pohon-pohon yang mulai berbuah mewarnai sepanjang sisi kiri jalanan sempit itu. Sambil perlahan menuntuni sepedanya, wanita itu memandangi dengan cermat pohon-pohon rindang yang mulai bergoyang-goyang tertiup angin, hingga ia kemudian berhenti di dekat satu pohon yang paling besar.
Sebuah pohon yang dulu menjadi tempatnya bermain saat masih kecil.
Tak mau repot dan berlama-lama mencari bengkel, maka dituntunnyalah sepeda berkeranjang itu menyusuri jalanan setapak kecil yang menuju ke satu rumah yang ada di ujung jalan.
Pohon-pohon yang mulai berbuah mewarnai sepanjang sisi kiri jalanan sempit itu. Sambil perlahan menuntuni sepedanya, wanita itu memandangi dengan cermat pohon-pohon rindang yang mulai bergoyang-goyang tertiup angin, hingga ia kemudian berhenti di dekat satu pohon yang paling besar.
Sebuah pohon yang dulu menjadi tempatnya bermain saat masih kecil.
"Pohon itu belum berubah, malah terlihat semakin besar." kata batinnya.
Pohon itu pun nampaknya mulai memunculkan bakal buahnya. Dan seiring waktu berlalu nanti, buahnya akan siap untuk dipetik.
"Kelak rasanya pasti akan manis." pikirnya.
Sepintas dia membayangkan, seandainya saja hidupnya itu sama seperti buah pada batang-batang pohon. Seiring dengan berjalannya waktu, maka akan semakin matang isi yang ada di dalamnya. Ya. Matang. Andai kata itu juga bisa berlaku untuk dirinya sendiri.
Usianya kini sudah tak lagi muda. Atau setidaknya, dia sendiri-lah yang merasa dia sudah tak muda lagi. Dan di dalam pandangan sebagian orang, memasuki usianya yang sekarang sudah dianggap sebagai usia yang sudah matang dan sudah dewasa.
Sudah matang? Sudah dewasa? Ya. Seharusnya. Tapi yang dia pikir, dia justru merasa dirinya masih sangatlah mentah dalam segala hal.
Sama sekali belum ada yang matang di dalam diriku. Begitu pikirnya.
Memasuki usia yang dewasa dan dianggap matang, bagi sebagian orang, adalah pengingat alami bagi diri mereka sendiri agar bisa semakin bijak dalam bertindak dan berpikir. Ya. Bijak.
Dengan kata lain, bisa disebut juga sebagai kematangan mental dalam menghadapi setiap permasalahan dan problema kehidupan.
Tapi bagi wanita itu, kedewasaan dan kematangan seakan berada begitu jauh, dan seolah sulit untuk dicapainya.
Setelah beristirahat sejenak di rumahnya, wanita itu segera keluar dan bergegas berjalan menuju ke satu sudut kota. Hari ini dia akan mampir ke sebuah toko untuk membeli beberapa mainan anak. Ya... mainan anak. Wanita itu akan mampir ke toko mainan.
Di usianya yang seperti sekarang, sebenarnya sudah tak pantas lagi baginya berjalan-jalan sendirian dan mampir ke toko-toko mainan anak seperti itu. Mungkin orang lain yang melihatnya pun akan berpikiran hal yang sama.
Dan dia nampaknya sedikit malu berada di sana sendirian. Melihat beberapa orang lain berada di sana bersama anak-anaknya, membuat dia merasa salah tempat berada di situ. Dia malu.
Cepat-cepat dia mencari mainan yang memang sudah dicarinya, dan setelah berhasil menemukannya, bergegas dia menuju kasir untuk membayarnya.
"Semuanya sekian rupiah, Bu. Apa perlu kami bungkus dengan kado juga? Untuk hadiah anaknya ya Bu ya?" tanya kasir itu.
Dia hanya menggeleng dan segera pergi dari sana. Ingin rasanya cepat-cepat dia sampai ke rumah.
Satu kata dari kasir itu yang membuatnya seperti tertusuk adalah: kado untuk anaknya ya Bu ya?
Ah... dia berangan-angan: Andai saja dia punya anak. Namun nyatanya, sampai di usianya yang sekarang, dia belum juga punya anak. Bahkan, menikah pun dia belum. Dan bahkan lagi, kekasih hati pun tidak ada.
Dan panggilan "Bu" kepadanya barusan, membuat dia semakin merasa yakin, bahwa usianya saat ini sudah bukan lagi usia yang main-main.
Dia merasa semakin tua. Namun dia merasa belum juga matang.
"Aku ingin matang.. aku ingin dipetik sama seperti halnya buah-buah itu.." harapnya.
Jauh di dalam hatinya, dia selalu merasa iri saat melihat kawan-kawan sebayanya, kini sudah hidup bahagia dengan pasangan pilihannya beserta putra-putri kesayangan. Ingin dia juga merasakan hal yang sama, tapi apalah daya, nasib dan takdir belum mengijinkannya.
Sampai di rumahnya, digeletakkannya begitu saja mainan itu di ranjangnya. Kamar itu rupanya penuh dengan mainan-mainan lain.
Seorang wanita yang tak beranak, kamarnya penuh dengan mainan anak kecil. Sungguh miris hati melihatnya. Dia merasa miris pada dirinya sendiri.
Tapi untunglah. Mainan-mainan itu ternyata bukan untuk dirinya sendiri. Melainkan untuk anak-anak didiknya di tempat kerjanya. Ya... dia menjadi salah satu pengajar di taman anak pra sekolah. Mengajari dengan bermain bersama anak-anak yang masih berumur di bawah usia TK.
Meskipun anak-anak didiknya itu bukan anaknya sendiri, tapi dia merasa sangat dekat dengan mereka. Biarlah keinginan hati memiliki anak ini sedikit terobati dengan kebersamaannya bersama mereka.
Di sana, dia bisa merasakan dirinya sendiri sebagai seorang ibu.
Memasuki usia yang tak lagi muda, namun tetap merasa belum juga matang, membuat Poppy sesekali menyesali masa lalu.
Dia merasa, masa lalunya itu terlalu bodoh. Dia terlalu banyak bermain-main, menghabiskan waktu dan masa-masa mudanya untuk hal-hal yang tak ada manfaat baginya.
Bermain ke sana ke sini. Menghabiskan uangnya untuk pergi ke tempat-tempat yang tidak penting, hanya demi memuaskan rasa "wah"-nya yang tak kunjung habis itu. Dia saat itu berpikir: kapan lagi dia bisa senang-senang melakukan hal seperti ini? Mumpung masih muda gitu loch.
Poppy terlena. Dia bahkan sempat terjerumus dalam hal-hal yang terlarang dan sampai melewati batas norma. Poppy tercandu dengan kenikmatan-kenikmatan masa muda: pada minuman, obat, dan kepuasan yang sesaat semata.
Namun seiring dengan mulai munculnya rasa bosan, dan mulai hilangnya kawan-kawan bermainnya karena mulai sibuk dengan urusannya masing-masing, membuat Poppy akhirnya mulai tersadar. Bahwa waktunya selama ini telah terbuang sia-sia.
Butuh waktu yang lama baginya untuk bisa lepas dari kebiasaan-kebiasaan itu. Dan Puji kepada Tuhan, dia masih bisa menemukan jalannya kembali. Dan kini saat dia bercermin dan merenungi diri sendiri, dia sadar bahwa usianya sudah tak muda lagi.
Pernah juga suatu ketika dulu, seorang teman pria Poppy mengajaknya berbincang. Pria itu nampaknya jatuh hati kepada Poppy, dan dia lalu mengungkapkan bahwa dia ingin menjalani hubungan yang serius dengan Poppy.
Pria itu ingin menikahinya.
Tapi Poppy muda masih belum merasa perlu untuk menjalin ikatan yang serius dan abadi seperti ikatan pernikahan. Dengan--berpura-pura--berat hati, Poppy menolak ajakan itu. Dia masih ingin bermain-main.
Masa lalu bodohnya itulah yang kini sering menghantuinya. Dia hanya bisa menyesalinya sekarang. Dan pikirannya hanya bisa berandai-andai: andai saja aku menerima ajakan menikahnya dulu. Andai saja aku tak terlalu banyak bermain-main dulu. Andai saja dulu aku tak seperti itu. Dan andai saja aku bisa mengulang masa-masa mudaku.
Tapi semuanya sudah terlanjur terlewatkan. Dia sudah kehilangan masa lalunya. Dan dia sudah kehilangan masa mudanya yang seharusnya bisa dia manfaatkan dengan lebih baik.
Ah sudahlah... toh semuanya tak akan bisa kembali lagi. Dia sekarang hanya bisa berusaha menjalani hari-harinya sebaik mungkin. Di kala kawan-kawannya kini telah matang dan jauh meresapi arti hidup yang sesungguhnya, Poppy justru baru saja akan memulainya. Sudah terlalu terlambat, tapi, yah better late than never kan?
Poppy hanya berharap nasibnya nanti tidak akan sama seperti bunga poppy yang beracun itu. Semakin tua bunganya, semakin getah di dalam tubuhnya menjadi candu.
Dia tak ingin di umurnya yang semakin bertambah ini, dia justru akan semakin terlena dengan segala macam kenikmatan dan keindahan duniawi. Candu yang seperti itu yang merupakan racun bagi dirinya. Melenakan, namun lama-kelamaan akan mematikan.
Dia tak ingin mencandu dirinya sendiri.
Candu bunga poppy, bukanlah kawan bagi wanita bernama Poppy ini.
Dan harapnya, semoga dia masih bisa menikmati masa-masa kematangannya nanti.
"Bu Poppy, Bu Poppy sudah tiga bulan ya bekerja di sini.. sudah lumayan cepat juga.." kata Irvin, rekan kerja Poppy, pada suatu siang di taman anak itu.
"Aduh, jangan panggil Bu, dong.. udah tua banget kayaknya.." tukas Poppy.
"Hehe.. kalau di sekolah manggilnya pake Bu. Kalau di luar, saya manggilnya Poppy aja."
"Huu dasar.. iya deh iya, Pak Irvin.."
"Lho.. jangan pake Pak lah, saya belum tua-tua banget kok." tukas Irvin tertawa.
"Kalo di sekolah panggilnya pake Pak, kalo di luar, panggilnya Irvin." balas Poppy.
"Haha, kena deh.."
Mereka berdua terlihat sudah cukup akrab saat bekerja di sekolah itu. Poppy yang baru bekerja 3 bulan menjadi pengajar di situ adalah junior Irvin yang sudah mulai bekerja sejak sekitar setahun yang lalu.
"Ngomong-ngomong Bu Poppy berapa umurnya sekarang?" tanya Irvin.
"Wah mau ngapain tuh nanya-nanya umur saya?"
"Ngga papa Bu.. saya penasaran aja.."
"Hmm.. saya sudah ngga muda lagi kok, Pak."
"Wah udah ngga muda lagi? Berapa dong tuh umurnya?"
Bujuk-membujuk dan diselingi candaan dalam obrolan siang itu akhirnya membuat mereka saling tahu umur masing-masing. Rupanya Poppy lebih tua 4 tahun daripada Irvin. Dan keduanya ternyata sama-sama masih jomblo--eh salah, lajang maksudnya.
Sejak hari itu, mereka sama-sama saling menunjukkan ketertarikan satu sama lain. Karena seringnya bertemu dan saling berinteraksi di tempat kerja, membuat Irvin nampaknya menaruh hati pada Poppy. Pun begitu dengan yang dirasakan oleh Poppy. Mereka ternyata saling mencinta. Selisih umur bukanlah masalah bagi mereka. Yang terpenting adalah kenyamanan dan kemantapan hati untuk mencoba bertindak dengan baik.
Yah.. semoga di hari-hari berikutnya, mereka akan menjadi semakin dekat. Dan jika mereka berjodoh, maka Tuhan pasti akan menyatukan. Dan Poppy nampaknya akan segera memetik buah hasil dari masa kematangannya.
Semoga saja...
Itu harapnya..
Bunga poppy seringkali dikatakan sebagai perlambang kematian dan tidur panjang. Namun, pada saat yang sama, sebenarnya poppy juga dipakai sebagai perlambang harapan untuk bisa bangkit kembali--reinkarnasi.
Tapi bagi Poppy, harapan itu adalah harapan untuk bisa bangkit dan menata kembali hidupnya yang sempat mati.
Poppy adalah bunga yang spesial. Terkesan sulit untuk dijamah dan pembawa candu. Namun saat datang seminya di musim panas, dia akan terlihat begitu menghangatkan.
Pohon itu pun nampaknya mulai memunculkan bakal buahnya. Dan seiring waktu berlalu nanti, buahnya akan siap untuk dipetik.
"Kelak rasanya pasti akan manis." pikirnya.
Sepintas dia membayangkan, seandainya saja hidupnya itu sama seperti buah pada batang-batang pohon. Seiring dengan berjalannya waktu, maka akan semakin matang isi yang ada di dalamnya. Ya. Matang. Andai kata itu juga bisa berlaku untuk dirinya sendiri.
Usianya kini sudah tak lagi muda. Atau setidaknya, dia sendiri-lah yang merasa dia sudah tak muda lagi. Dan di dalam pandangan sebagian orang, memasuki usianya yang sekarang sudah dianggap sebagai usia yang sudah matang dan sudah dewasa.
Sudah matang? Sudah dewasa? Ya. Seharusnya. Tapi yang dia pikir, dia justru merasa dirinya masih sangatlah mentah dalam segala hal.
Sama sekali belum ada yang matang di dalam diriku. Begitu pikirnya.
Memasuki usia yang dewasa dan dianggap matang, bagi sebagian orang, adalah pengingat alami bagi diri mereka sendiri agar bisa semakin bijak dalam bertindak dan berpikir. Ya. Bijak.
Dengan kata lain, bisa disebut juga sebagai kematangan mental dalam menghadapi setiap permasalahan dan problema kehidupan.
Tapi bagi wanita itu, kedewasaan dan kematangan seakan berada begitu jauh, dan seolah sulit untuk dicapainya.
Setelah beristirahat sejenak di rumahnya, wanita itu segera keluar dan bergegas berjalan menuju ke satu sudut kota. Hari ini dia akan mampir ke sebuah toko untuk membeli beberapa mainan anak. Ya... mainan anak. Wanita itu akan mampir ke toko mainan.
Di usianya yang seperti sekarang, sebenarnya sudah tak pantas lagi baginya berjalan-jalan sendirian dan mampir ke toko-toko mainan anak seperti itu. Mungkin orang lain yang melihatnya pun akan berpikiran hal yang sama.
Dan dia nampaknya sedikit malu berada di sana sendirian. Melihat beberapa orang lain berada di sana bersama anak-anaknya, membuat dia merasa salah tempat berada di situ. Dia malu.
Cepat-cepat dia mencari mainan yang memang sudah dicarinya, dan setelah berhasil menemukannya, bergegas dia menuju kasir untuk membayarnya.
"Semuanya sekian rupiah, Bu. Apa perlu kami bungkus dengan kado juga? Untuk hadiah anaknya ya Bu ya?" tanya kasir itu.
Dia hanya menggeleng dan segera pergi dari sana. Ingin rasanya cepat-cepat dia sampai ke rumah.
Satu kata dari kasir itu yang membuatnya seperti tertusuk adalah: kado untuk anaknya ya Bu ya?
Ah... dia berangan-angan: Andai saja dia punya anak. Namun nyatanya, sampai di usianya yang sekarang, dia belum juga punya anak. Bahkan, menikah pun dia belum. Dan bahkan lagi, kekasih hati pun tidak ada.
Dan panggilan "Bu" kepadanya barusan, membuat dia semakin merasa yakin, bahwa usianya saat ini sudah bukan lagi usia yang main-main.
Dia merasa semakin tua. Namun dia merasa belum juga matang.
"Aku ingin matang.. aku ingin dipetik sama seperti halnya buah-buah itu.." harapnya.
Jauh di dalam hatinya, dia selalu merasa iri saat melihat kawan-kawan sebayanya, kini sudah hidup bahagia dengan pasangan pilihannya beserta putra-putri kesayangan. Ingin dia juga merasakan hal yang sama, tapi apalah daya, nasib dan takdir belum mengijinkannya.
Sampai di rumahnya, digeletakkannya begitu saja mainan itu di ranjangnya. Kamar itu rupanya penuh dengan mainan-mainan lain.
Seorang wanita yang tak beranak, kamarnya penuh dengan mainan anak kecil. Sungguh miris hati melihatnya. Dia merasa miris pada dirinya sendiri.
Tapi untunglah. Mainan-mainan itu ternyata bukan untuk dirinya sendiri. Melainkan untuk anak-anak didiknya di tempat kerjanya. Ya... dia menjadi salah satu pengajar di taman anak pra sekolah. Mengajari dengan bermain bersama anak-anak yang masih berumur di bawah usia TK.
Meskipun anak-anak didiknya itu bukan anaknya sendiri, tapi dia merasa sangat dekat dengan mereka. Biarlah keinginan hati memiliki anak ini sedikit terobati dengan kebersamaannya bersama mereka.
Di sana, dia bisa merasakan dirinya sendiri sebagai seorang ibu.
*****
Memasuki usia yang tak lagi muda, namun tetap merasa belum juga matang, membuat Poppy sesekali menyesali masa lalu.
Dia merasa, masa lalunya itu terlalu bodoh. Dia terlalu banyak bermain-main, menghabiskan waktu dan masa-masa mudanya untuk hal-hal yang tak ada manfaat baginya.
Bermain ke sana ke sini. Menghabiskan uangnya untuk pergi ke tempat-tempat yang tidak penting, hanya demi memuaskan rasa "wah"-nya yang tak kunjung habis itu. Dia saat itu berpikir: kapan lagi dia bisa senang-senang melakukan hal seperti ini? Mumpung masih muda gitu loch.
Poppy terlena. Dia bahkan sempat terjerumus dalam hal-hal yang terlarang dan sampai melewati batas norma. Poppy tercandu dengan kenikmatan-kenikmatan masa muda: pada minuman, obat, dan kepuasan yang sesaat semata.
Namun seiring dengan mulai munculnya rasa bosan, dan mulai hilangnya kawan-kawan bermainnya karena mulai sibuk dengan urusannya masing-masing, membuat Poppy akhirnya mulai tersadar. Bahwa waktunya selama ini telah terbuang sia-sia.
Butuh waktu yang lama baginya untuk bisa lepas dari kebiasaan-kebiasaan itu. Dan Puji kepada Tuhan, dia masih bisa menemukan jalannya kembali. Dan kini saat dia bercermin dan merenungi diri sendiri, dia sadar bahwa usianya sudah tak muda lagi.
Pernah juga suatu ketika dulu, seorang teman pria Poppy mengajaknya berbincang. Pria itu nampaknya jatuh hati kepada Poppy, dan dia lalu mengungkapkan bahwa dia ingin menjalani hubungan yang serius dengan Poppy.
Pria itu ingin menikahinya.
Tapi Poppy muda masih belum merasa perlu untuk menjalin ikatan yang serius dan abadi seperti ikatan pernikahan. Dengan--berpura-pura--berat hati, Poppy menolak ajakan itu. Dia masih ingin bermain-main.
Masa lalu bodohnya itulah yang kini sering menghantuinya. Dia hanya bisa menyesalinya sekarang. Dan pikirannya hanya bisa berandai-andai: andai saja aku menerima ajakan menikahnya dulu. Andai saja aku tak terlalu banyak bermain-main dulu. Andai saja dulu aku tak seperti itu. Dan andai saja aku bisa mengulang masa-masa mudaku.
Tapi semuanya sudah terlanjur terlewatkan. Dia sudah kehilangan masa lalunya. Dan dia sudah kehilangan masa mudanya yang seharusnya bisa dia manfaatkan dengan lebih baik.
Ah sudahlah... toh semuanya tak akan bisa kembali lagi. Dia sekarang hanya bisa berusaha menjalani hari-harinya sebaik mungkin. Di kala kawan-kawannya kini telah matang dan jauh meresapi arti hidup yang sesungguhnya, Poppy justru baru saja akan memulainya. Sudah terlalu terlambat, tapi, yah better late than never kan?
Poppy hanya berharap nasibnya nanti tidak akan sama seperti bunga poppy yang beracun itu. Semakin tua bunganya, semakin getah di dalam tubuhnya menjadi candu.
![]() |
Bunga candu (Poppy) sumber: blog jinggaberbisik |
Dia tak ingin di umurnya yang semakin bertambah ini, dia justru akan semakin terlena dengan segala macam kenikmatan dan keindahan duniawi. Candu yang seperti itu yang merupakan racun bagi dirinya. Melenakan, namun lama-kelamaan akan mematikan.
Dia tak ingin mencandu dirinya sendiri.
Candu bunga poppy, bukanlah kawan bagi wanita bernama Poppy ini.
Dan harapnya, semoga dia masih bisa menikmati masa-masa kematangannya nanti.
*****
"Bu Poppy, Bu Poppy sudah tiga bulan ya bekerja di sini.. sudah lumayan cepat juga.." kata Irvin, rekan kerja Poppy, pada suatu siang di taman anak itu.
"Aduh, jangan panggil Bu, dong.. udah tua banget kayaknya.." tukas Poppy.
"Hehe.. kalau di sekolah manggilnya pake Bu. Kalau di luar, saya manggilnya Poppy aja."
"Huu dasar.. iya deh iya, Pak Irvin.."
"Lho.. jangan pake Pak lah, saya belum tua-tua banget kok." tukas Irvin tertawa.
"Kalo di sekolah panggilnya pake Pak, kalo di luar, panggilnya Irvin." balas Poppy.
"Haha, kena deh.."
Mereka berdua terlihat sudah cukup akrab saat bekerja di sekolah itu. Poppy yang baru bekerja 3 bulan menjadi pengajar di situ adalah junior Irvin yang sudah mulai bekerja sejak sekitar setahun yang lalu.
"Ngomong-ngomong Bu Poppy berapa umurnya sekarang?" tanya Irvin.
"Wah mau ngapain tuh nanya-nanya umur saya?"
"Ngga papa Bu.. saya penasaran aja.."
"Hmm.. saya sudah ngga muda lagi kok, Pak."
"Wah udah ngga muda lagi? Berapa dong tuh umurnya?"
Bujuk-membujuk dan diselingi candaan dalam obrolan siang itu akhirnya membuat mereka saling tahu umur masing-masing. Rupanya Poppy lebih tua 4 tahun daripada Irvin. Dan keduanya ternyata sama-sama masih jomblo--eh salah, lajang maksudnya.
Sejak hari itu, mereka sama-sama saling menunjukkan ketertarikan satu sama lain. Karena seringnya bertemu dan saling berinteraksi di tempat kerja, membuat Irvin nampaknya menaruh hati pada Poppy. Pun begitu dengan yang dirasakan oleh Poppy. Mereka ternyata saling mencinta. Selisih umur bukanlah masalah bagi mereka. Yang terpenting adalah kenyamanan dan kemantapan hati untuk mencoba bertindak dengan baik.
Yah.. semoga di hari-hari berikutnya, mereka akan menjadi semakin dekat. Dan jika mereka berjodoh, maka Tuhan pasti akan menyatukan. Dan Poppy nampaknya akan segera memetik buah hasil dari masa kematangannya.
Semoga saja...
Itu harapnya..
*****
Bunga poppy seringkali dikatakan sebagai perlambang kematian dan tidur panjang. Namun, pada saat yang sama, sebenarnya poppy juga dipakai sebagai perlambang harapan untuk bisa bangkit kembali--reinkarnasi.
Tapi bagi Poppy, harapan itu adalah harapan untuk bisa bangkit dan menata kembali hidupnya yang sempat mati.
Poppy adalah bunga yang spesial. Terkesan sulit untuk dijamah dan pembawa candu. Namun saat datang seminya di musim panas, dia akan terlihat begitu menghangatkan.
No comments:
Post a Comment