[Story #1-3] Kisah-Kisah Bunga: Yasmin

Cincin Akar Pohon

Pagi itu, di desa kecil di lereng pegunungan, kabut tipis masih menyelimuti atap-atap rumah kayu. Ayam jantan berkokok bersahutan, sementara aroma tanah basah dan bunga melati liar bercampur di udara. Di ujung jalan setapak yang masih lembap, Yasmin berjalan pelan, membawa keranjang anyaman berisi sayuran dari kebun.

Kaki Yasmin berhenti di depan pagar rumahnya. Dari kejauhan, suara langkah cepat mendekat.

"Min! Tunggu!"

Ia menoleh. Calon suaminya, Rizal, terengah-engah menyusulnya, tangan kanan menggenggam sesuatu.


"Apa ini?" tanya Yasmin saat Rizal membuka genggamannya—sebuah cincin sederhana dari perak, diukir motif akar pohon.

"Aku buat sendiri... dari perak sisa kerajinan Pak Haji," ucap Rizal, napasnya masih tersengal. "Dari kemarin ngumpulin nyali buat kasih ke kamu."

Yasmin memeriksa cincin itu. Di bagian dalamnya terukir huruf Y & R. Tangannya gemetar saat mencobanya—pas di jari manisnya.

"Jadi...?" Rizal mengangkat alis, senyumnya goyah.

Yasmin menunduk, tapi Rizal bisa melihat ujung telinganya memerah. "Iya," bisiknya.

Rizal tertawa lepas, lalu menarik Yasmin ke bawah pohon jambu di samping rumah—tempat mereka biasa berteduh.

◇◇◇

Malam itu, di teras rumah Yasmin, Rizal duduk tegang di antara orang tuanya. Ayah Yasmin mengamatinya sambil menyeruput kopi pahit.

"Jadi, kamu serius?" tanya ayah Yasmin, mata sipitnya menyipit lebih dalam.

Rizal meneguk ludah. "Sangat serius, Pak. Saya mau nikahi Yasmin."

Ibu Yasmin tersenyum, tapi matanya berkaca-kaca. "Dia anak satu-satunya kami yang perempuan..."

"Saya janji akan jaga dia," potong Rizal cepat.

Sunyi. Hanya suara jangkrik dan desau angin malam.

Tiba-tiba, dari balik pintu, terdengar gelas jatuh. Yasmin—yang diam-diam menguping—tersandung saat berusaha kabur.

"Dasar!" kutuk ayahnya, tapi wajahnya berkerut menahan tawa.

◇◇◇

Dua minggu kemudian, rumah Yasmin ramai. Para tetangga perempuan membantu membuat keperluan-keperluan untuk acara lamaran.

"Wah, Yasmin nanti dapat suami ganteng!" goda Bu RT sambil menata beras ketan.

Yasmin cuma tersipu, tangannya sibuk menganyam daun kelapa untuk hiasan. Tapi tiba-tiba, jemarinya berhenti. Matanya tertuju ke kandang ayam di halaman—tempat ayam jago kesayangan Rizal sering dikurung.

"Min? Kenapa?" tanya ibunya.

"Eh, nggak..." Yasmin menggeleng, lalu kembali menganyam. Tapi jari-jemarinya kaku, seperti ada yang mengganggu pikirannya.

Di kejauhan, di balik pagar, seekor kucing hitam duduk mematung, matanya kuning menyala menatap Yasmin.

◇◇◇

Tatapan Si Jalak

Minggu-minggu setelah lamaran. Suasana rumah Yasmin mulai berubah. Pagi masih cerah, tetapi ada sesuatu yang mengendap di udara setiap siang tiba—seperti bayangan yang merayap pelan.

Pagi itu, Yasmin membantu ibunya menumbuk beras untuk dibuat lontong. Tangannya lincah, suaranya riang bercerita tentang rencana pernikahan.

"Nanti meja pengantinnya mau aku hias pakai bunga melati, Bu. Rizal bilang dia suka baunya," ujarnya sambil menyisihkan biji padi yang pecah.

Ibunya mengangguk sambil tersenyum. "Kamu semangat sekali, Nak."

Tapi saat matahari tepat di atas kepala, ketika bayangan menghilang di bawah kaki, Yasmin tiba-tiba diam. Piring di tangannya terjatuh, pecah berantakan.

"Min?" Ibunya menatapnya.

Yasmin tak menjawab. Matanya menatap kosong ke arah kandang ayam di halaman—tempat ayam jago Rizal, Si Jalak, sedang mengais-ngais tanah.

"Yasmin!" Ibunya menggoyang bahunya.

Yasmin berkedip, lalu memandang ibunya seolah baru tersadar. "Hmm? Kenapa, Bu?"

"Kamu tadi ngelamun."

"Aku nggak ngelamun," bantah Yasmin, tapi alisnya berkerut, seperti kebingungan sendiri.

◇◇◇

Sore harinya, Rizal datang membawa kue lapis buatan ibunya. Ia duduk di teras depan, menunggu Yasmin keluar.

"Dia di mana?" tanyanya pada kakak Yasmin, yang sedang menjemur padi.

"Dari tadi di teras belakang, ngelamun lagi," jawab sang kakak, suaranya berbisik. "Aneh, Riz. Dia kayak nggak denger kita kalo lagi kayak gitu."

Rizal berjalan pelan ke teras belakang. Yasmin duduk di bangku kayu, tangan terlipat di pangkuan. Pandangannya menembus pagar, ke arah pohon jambu tempat mereka dulu sering duduk.

"Min?" Rizal menyentuh pundaknya.

Yasmin tak bereaksi.

"Yasmin!" Suaranya lebih keras.

Yasmin menggeleng, seperti orang yang baru tersadar dari mimpi. "Oh… Rizal. Kapan kamu datang?"

Rizal duduk di sebelahnya, mencoba menangkap matanya. "Kamu kenapa akhir-akhir ini? Kamu nggak seperti biasanya."

Yasmin menggosok pelipisnya. "Aku cuma lelah, kayaknya."

Tapi Rizal melihat sesuatu di balik kata-katanya—ketakutannya. Seperti ada sesuatu yang Yasmin sendiri tak paham.

◇◇◇

Malam itu, Yasmin terbangun dari tidurnya. Suara gesekan halus terdengar dari bawah jendela kamarnya—seperti cakar menggaruk kayu.

Dia membuka jendela perlahan.

Di bawah, di tanah yang diterangi cahaya bulan, Si Jalak, ayam jago Rizal, berdiri kaku. Matanya merah, menatap langsung ke arah Yasmin.

Bukan tatapan ayam.

Tatapan itu seperti milik manusia.

Yasmin ingin berteriak, tapi suaranya macet di tenggorokan. Ayam itu perlahan membuka paruhnya—terlalu lebar untuk ukuran ayam—dan mengeluarkan suara yang bukan kokokan.

Suara itu seperti… tawa.

Yasmin menjatuhkan diri dari jendela, menarik selimut hingga menutupi kepalanya. Tubuhnya gemetar.

"Ini cuma mimpi," bisiknya pada diri sendiri, berulang kali.

Tapi di luar, suara gesekan itu masih terdengar.

Dan kali ini, disertai bisikan:

"Jangan nikah…"

◇◇◇

Bunga Melati (Jasmine) sumber: dcyberinfo


Darah Hitam di Bunga Melati

Hari-hari berikutnya. Suasana di rumah Yasmin semakin mencekam. Kegelisahan yang awalnya samar, kini menjelma menjadi sesuatu yang tak bisa diabaikan.

Yasmin terbangun dengan keringat dingin. Matanya langsung menuju jendela—masih utuh, tak ada bekas cakar atau goresan. "Mimpi," gumamnya, mencoba meyakinkan diri.

Dia bangun, menyiapkan sarapan seperti biasa. Tangannya masih stabil saat menuang kopi untuk ayahnya.

"Kamu baik-baik saja?" tanya ibunya, memperhatikan cara Yasmin mengaduk gula dengan gerakan terlalu cepat.

"Iya, Bu," jawab Yasmin. Tapi sendok di tangannya berdentang keras di tepi cangkir.

Di halaman, Si Jalak mengais tanah dengan garang. Ayam itu sesekali mengangkat kepala, memandang Yasmin dengan mata yang terlalu tajam untuk seekor unggas.

◇◇◇

Rizal datang setelah zuhur, membawa rantang berisi gulai kepala ikan kesukaan Yasmin.

"Aku masakin sendiri," ujarnya, mencoba tersenyum.

Yasmin menerimanya, tapi tangannya tak menyentuh makanan. Dia duduk di kursi kayu, menatap piring tanpa ekspresi.

"Min, makanlah," desak Rizal.

Tiba-tiba, Yasmin berdiri. Piring terguling, kuah kuning tumpah ke lantai.

"Aku tidak lapar," katanya, suaranya datar.

Dia berjalan ke teras, duduk menghadap kandang ayam. Rizal mengikutinya, tapi Yasmin tak lagi merespons.

"Dia mulai lagi," bisik kakak Yasmin dari balik pintu.

Rizal menatap wajah Yasmin—matanya terbuka lebar, tapi seperti tak melihat apa-apa. Bibirnya bergetar, mengucapkan sesuatu yang tak terdengar.

Rizal mendekatkan telinganya.

"...jangan...jangan nikah..."

Dia menarik napas tajam. "Apa?"

Yasmin berbalik. Tiba-tiba, air matanya mengalir deras. "Aku tidak mau menikah!" teriaknya, suaranya pecah.

Seluruh rumah terdiam.

◇◇◇

Malam itu, Yasmin mengamuk.

Dia menjerit-jerit di kamarnya, melempar bantal, mencakar dinding sampai kukunya patah. Keluarganya berusaha menahan, tapi Yasmin menggelepar dengan kekuatan bukan manusia.

"Pegang tangannya!" teriak ayahnya.

"Dia dingin sekali!" jerit ibunya, merasakan kulit Yasmin seperti es.

Di tengah kekacauan, seekor kucing hitam melintas di jendela. Matanya menyala dalam gelap.

Yasmin tiba-tiba berhenti bergerak.

"Bunga..." bisiknya.

"Apa, Nak?" tanya ibunya, masih terisak.

"Bunga melati...aku butuh bunga melati..."

Kakaknya berlari ke kebun, memetik segenggam melati putih. Saat bunga itu didekatkan, Yasmin meraihnya dengan liar—lalu mulai mengunyah-ngunyah kelopaknya seperti orang kelaparan.

Dia tertawa. Suaranya bergetar antara gembira dan takut.

"Dia bilang...dia bilang aku cantik..."

Rizal, yang berdiri di pintu, merasa darahnya membeku. "Siapa?"

Tapi Yasmin sudah tertidur, bunga melati hancur di genggamannya.

◇◇◇

Pernikahan Dua Dunia

Fajar menyingsing setelah malam penuh teror. Rumah Yasmin sunyi, hanya terdengar desiran angin yang menggerakkan daun pisang di halaman. Dari kamarnya, Yasmin muncul dan berjalan gontai dengan lingkaran hitam pekat di bawah mata.

Ibu Yasmin menatap putrinya yang kini jalan menuju dapur dan duduk di kursi meja makan, mengangkat secangkir teh hangat yang disiapkan ibunya. Tangannya gemetar, membuat cairan sedikit tumpah.

"Min, kamu ingat apa yang terjadi tadi malam?" tanyanya pelan.

Yasmin mengangkat wajah. Matanya jernih, tapi penuh kebingungan. "Aku... aku mimpi buruk, Bu. Mimpi ada yang mencengkeram leherku." Jarinya menyentuh bekas garisan merah di kulitnya sendiri.

Di sudut ruangan, kakak Yasmin bertukar pandangan dengan ayah mereka. Mimpi?

◇◇◇

Ketika matahari mulai panas, seorang lelaki tua berpakaian putih-putih muncul di depan pagar. Rambutnya jarang dan putih, kulitnya keriput seperti kertas yang direndam air.

"Saya ingin melihat anak itu," katanya pada ayah Yasmin yang menghadang di teras.

"Siapa Anda?"

"Saya Mbah Suro, tetangga RT 07. Dengar kabar ada yang tidak beres di sini."

Ayah Yasmin ingin menolak, tapi suara lembut dari dalam rumah menyela:

"Biarkan dia masuk, Pak."

Ibu Yasmin berdiri di ambang pintu, matanya merah. "Kita coba dulu, Pak."

Mbah Suro masuk tanpa sepatah kata lagi.

Orang tua itu duduk di samping Yasmin yang sedang melamun di kursi kayu. Tanpa peringatan, dia meraih pergelangan tangan Yasmin dan membaliknya.

"Lihat," bisiknya.

Di bagian dalam pergelangan Yasmin, ada tiga garis merah sejajar—seperti cakaran.

"Dia ditandai," Mbah Suro bergumam. "Ada yang menginginkannya."

"Siapa?!" Rizal yang baru tiba langsung berseru.

Mbah Suro mengabaikannya. Matanya tertuju pada kandang ayam di halaman. "Itu ayam jago milik siapa?"

"Punya Rizal," jawab kakak Yasmin. "Dia sering bawa ke sini karena—"

"Bunuh."

Semua terkejut.

"Bunuh ayam itu sekarang juga," Mbah Suro berdiri, suaranya mendesak. "Lalu ambil darahnya, campur dengan bunga melati. Oleskan di kening Yasmin sebelum magrib."

Ayah Yasmin menggeleng. "Ini tidak masuk akal—"

"Kalian mau anak ini mati?!" bentak orang tua itu untuk pertama kalinya. Suaranya menggelegar, tidak sesuai dengan tubuhnya yang ringkih.

Sunyi.

Yasmin tiba-tiba tersenyum kosong. "Dia bilang... dia sudah menunggu lama..."

Suaranya bukan suaranya sendiri.

◇◇◇

Rizal yang melakukan eksekusi. Dengan pisau tajam, ia memenggal kepala Si Jalak di belakang rumah. Darah segar memancur, menodai tanah.

Sesuatu yang aneh terjadi—darah itu menggelembung seperti mendidih, lalu berubah warna menjadi hitam pekat.

Mbah Suro mengumpulkan darah itu di mangkuk, mencampurnya dengan bunga melati yang ditumbuk.

"Dia kuat," gumamnya. "Tapi tidak sekuat ini."

Saat tangan tua itu mengoleskan campuran itu di dahi Yasmin, tubuhnya langsung kejang-kejang.

"Tahan dia!"

Yasmin menjerit dengan suara yang bukan miliknya—suara parau, laki-laki tua. "Dia milikku! Aku yang pertama melihatnya!"

Lampu di rumah tiba-tiba padam. Angin berputar liar di halaman.

Di tengah kekacauan, Mbah Suro berteriak sesuatu dalam bahasa yang tidak dimengerti—lalu menempelkan sesuatu ke dada Yasmin.

Sebuah telur ayam yang masih utuh.

Yasmin menjerit lebih keras—lalu pingsan.

◇◇◇

Bunga untuk Yasmin

Malam setelah ritual. Yasmin terbaring lemah di kamarnya, nafasnya tersengal-sengal. Bau anyir darah ayam dan wangi melati masih menggantung di udara. Di luar, angin menderu seperti suara ratapan.

Fajar menyingsing ketika Yasmin membuka mata. Keluarganya berkerumun, harap-harap cemas.

"Min...?" sang ibu berbisik gemetar.

Yasmin tersenyum. Lemah, tapi jelas. "Bu..."

Rizal menangis lega. Mbah Suro mengangguk puas.

"Dia pergi," kata orang tua itu. "Tapi..." Matanya menyipit. "Jangan lengah."

Tiga hari berikutnya, Yasmin tampak pulih. Dia makan, tertawa kecil, bahkan membantu menjahit gaun pengantinnya. Keluarga mulai percaya semuanya berakhir.

Tapi di malam ketiga—

Yasmin berdiri di depan cermin. Di balik pantulannya, ada bayangan lain: seorang lelaki tua berpakaian kuno, tersenyum lebar.

"Aku tunggu di pernikahanmu," bisik bayangan itu.

Cermin itu retak dengan sendirinya.

◇◇◇

Pagi sebelum pernikahan, Yasmin menjerit-jerit di kamar mandi. Air yang mengalir di bak tiba-tiba berubah merah.

"Dia ada di mana-mana!" teriaknya, mencakar-cakar dinding sampai berdarah.

Mbah Suro dipanggil lagi. Kali ini, wajahnya pucat.

"Saya tidak bisa melawan keinginannya," akuinya. "Dia sudah menandai Yasmin sebagai pengantinnya—di dunia lain."

Pernikahan dibatalkan.

Bulan-bulan berikutnya, Yasmin menjadi hantu dari dirinya sendiri. Tubuhnya kurus, rambutnya kusut, matanya selalu melotot ketakutan. Satu-satunya yang menenangkannya adalah bunga melati—yang terus dia kunyah seperti orang kelaparan.

Hingga akhirnya—

"Pasung dia," putus ayahnya dengan air mata. "Sebelum dia melukai dirinya sendiri lagi."

◇◇◇

25 Tahun Kemudian

Anak-anak desa bermain bola plastik ketika TOA masjid mengumumkan:

"Innalillahi wa inna ilaihi raji'un... Ibu Yasmin telah meninggal dunia..."

Lapangan sepak bola mendadak sepi. Bola plastik masih tertinggal di lapangan. Tapi tak ada yang berani untuk kembali memainkannya hari itu.

"Wanita gila yang suka makan bunga itu ya?" tanya seorang anak.

Kakek mereka menghela napas. "Dia bukan selalu gila. Dulu, dia gadis tercantik di desa ini."

Di pemakaman, mereka menguburkan Yasmin dengan taburan melati—bunga terakhir untuk perempuan yang dikenang sebagai "pengantin yang gagal", baik di dunia nyata maupun dunia lain.

◇◇◇

Bunga yang Tak Pernah Layu

Lima tahun setelah Yasmin dimakamkan, seorang anak perempuan kecil menemukan sesuatu di pinggir jalan setapak menuju kebun melati. Sebatang pohon muda tumbuh subur di antara semak belukar—daunnya hijau gelap, bunganya putih bersih, mengeluarkan aroma yang membuat siapa pun yang menciumnya teringat pada sesuatu, tapi tak bisa menjelaskan apa.

Anak itu memetik satu kuntum dan membawanya pulang.

Ibunya, begitu melihat bunga itu, tiba-tiba terdiam. Matanya berkaca-kaca.

"Itu... bunga Yasmin," bisiknya, seolah nama itu sendiri adalah mantra yang membuka kenangan lama.

"Siapa Yasmin, Bu?" tanya anak itu.

Ibunya tidak menjawab. Hanya mengelus kepala anaknya, lalu meletakkan bunga melati itu di atas lemari kayu tua—tempat sebuah foto hitam putih tersimpan rapat-rapat. Foto seorang wanita muda dengan senyum lebar, matanya berbinar, mengenakan kebaya pengantin yang tak pernah sempat ia pakai di hari pernikahannya.

Di luar, angin sore berhembus pelan, membawa aroma melati ke seluruh penjuru desa. Beberapa warga yang merasakannya akan berhenti sejenak, menatap jauh ke arah makam di ujung kampung, lalu mengucapkan doa pendek.

Dan di malam-malam tertentu, ketika bulan purnama menggantung tepat di atas pohon melati liar itu, para petani yang pulang dari sawah kadang melihat bayangan seorang wanita duduk di bawahnya.

Dia tidak menangis. Tidak juga tertawa.

Hanya duduk di sana, memandangi jalan setapak yang dulu sering ia lewati dengan seorang pemuda yang mencintainya—sebelum dunia lain memanggilnya pulang.

No comments:

Post a Comment