Seruni di Terminal Malam
Langit jingga mulai memudar ketika Seruni menyelesaikan packing terakhir tas ranselnya. Kamar berukuran 3x4 meter itu terasa pengap oleh tumpukan kenangan: piagam-piagam sekolah di dinding, foto kelulusan dengan wajah ceria yang sekarang terasa seperti masa lalu yang jauh, dan aroma anyir tanah liat dari genting rumah yang masih hangat oleh terik siang.
"Pakaian, celana... udah. Charger, earphone... ada. Uang simpanan... aman. Tiket jangan sampai ketinggalan." Gumamannya pecah oleh suara langkah ibu di balik pintu kayu yang reyot.
"Nduk, ini rendang dan sambal balado buatan kemarin, kenapa nggak dibawa?" Ibu mendorong bungkusan daun pisang ke arahnya, wajahnya berkerut seperti kertas minyak yang kusut.
Seruni menatap bungkusan itu. Bau rempah yang menggoda itu tiba-tiba membuat tenggorokannya sesak. Berat Bu, bukan cuma fisiknya...
"Enggak usah, Bu. Nanti beli di kota aja," jawabnya sambil menutup resleting tas dengan cepat, seolah takut akan menggagalkan niatnya pergi jika terlalu lama memandangi masakan ibu.
Tangan ibu yang mulai keriput itu menyodorkan bungkusan. "Ini... biar ada rasa rumah kalau kangen."
Di ruang tamu, Ayah membenarkan koper dengan gerakan khasnya yang pelan tapi pasti—seperti cara dia menghidupi keluarga selama ini. Adik lelakinya, Rian, memain-mainkan gantungan kunci berbentuk monyet—hadiah terakhir Seruni sebelum berangkat.
"Jadi beneran nggak mau diantar sampai kampus?" Ayah mengusap debu di koper.
Seruni menggeleng. Pandangannya tertumbuk pada kaleng bekas biskuit di meja—celengan haji orang tuanya yang baru terisi seperempat. "Duitnya buat naik Haji aja, Yah."
◇◇◇
 |
Bunga Krisan (Seruni Putih). sumber : natbg.com |
Suara mesin bus dan teriakan calo memenuhi terminal malam yang bau solar. Seruni duduk di bangku semen yang dingin, diapit keluarga yang berusaha terlalu keras untuk terlihat tegar.
Tiba-tiba—
"Seruni!"
Hamdan, teman sekelasnya, muncul dengan nafas terengah. Bajunya basah oleh keringat, memegang sesuatu yang dibungkus kertas cokelat.
"From Muhsin," bisiknya sambil menyerahkan paket itu. "Kakinya keseleo pas mau ke rumahmu."
◇◇◇
Di tangannya sekarang ada bungkusan bertuliskan "Untuk Seruni Tercinta" dengan huruf-huruf yang dibuat-buat anggun. Dia langsung tahu ini karya Muhsin—si pengagum berat yang sejak kelas 10 selalu berteriak "Aku sayang kamu!" di koridor sekolah, sampai-sampai guru BK turun tangan. Bahkan ibunya pun sampai mengetahui hal ini dan hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuannya.
Dulu, Seruni selalu menjewer telinga Muhsin setiap kali dia mulai beraksi. Tapi entah kenapa, sekarang dia tersenyum melihat coretan-coretan hati di kertas itu.
Bus malam sudah meraung-raung. Seruni memeluk keluarganya cepat-cepat—takut kalau lama-lama akan menangis. Saat mesin mulai berderum, dari jendela dia melihat Hamdan melambai dengan aneh, seperti ada sesuatu yang belum selesai.
Di genggamannya, bungkusan dari Muhsin masih utuh. Apa isinya? Dia tak berani membuka sekarang—seperti ada takut akan menemukan sesuatu yang membuatnya ragu untuk pergi.
Di luar, lampu-lampu terminal mulai menjauh. Seruni menatap bayangan desanya yang perlahan hilang, sambil memegang erat bungkusan itu—simbol terakhir masa remajanya.
◇◇◇
Seruni Kuning dalam Bungkusan
Bus malam melaju melalui jalan berliku, getarannya membuat gigi Seruni berdentang. Lampu temaram menyoroti wajah-wajah penumpang yang tertidur lesu. Bau anyir keringat bercampur minyak angin menyengat di hidung.
Dengan hati berdebar, ia membuka bungkusan dari Muhsin. Kertas coklat berderak seperti suara daun kering di musim kemarau.
Isinya:
- Sebuah buku catatan kecil kulit coklat yang sudah lusuh
- Gantungan kunci bentuk bunga krisan kuning dari kayu
- Surat berlipat rapi dengan aroma wangi melati
Jari-jari Seruni gemetar membuka halaman pertama buku. Ternyata ini buku harian Muhsin selama 3 tahun terakhir.
"25 Januari 2009:
Hari pertama Seruni marahin aku. Katanya 'Jangan ngancam gue lagi lo ngoceh di kelas!'. Aku cuma bilang aku suka sama dia. Entah kenapa dia selalu salah paham..."
"17 Agustus 2010:
Seruni dapat juara pidato. Bajunya warna kuning kayak bunga seruni. Aku kasih bunga beneran tapi dimasukin tas sama dia, nggak dibawa pulang. Mungkin malu..."
Tetesan air jatuh di atas tulisan itu. Seruni baru sadar dia menangis.
◇◇◇
Surat yang Mengubah Segalanya
Surat itu ditulis dengan tinta biru yang sudah memudar:
"Seruni,
Aku tahu kamu akan jadi orang besar. Dan aku tidak akan pernah bisa sebanding dengan kamu. Aku cuma toko kelontong kecil, dan kamu calon orang hebat, tapi izinkan aku menyimpan satu mimpi:
Kalau nanti kamu jadi dokter (seperti cita-citamu), dan aku punya anak sakit, boleh nggak aku bilang 'Dokternya temen SMA ayah lho!' ke anakku?
Itu saja.
Selamat jalan.
- Muhsin
PS: Gantungan kunci itu aku bikin sendiri di kelas praktek kayu"
◇◇◇
Seruni memegang gantungan kunci kayu itu. Ukirannya kasar, jelas karya pemula. Tapi bentuk bunga krisannya sempurna—persis seperti yang selalu mekar di pekarangan sekolah mereka.
Dia teringat senyum Muhsin setiap pagi menyapanya:
"Pagi, Seruni! Bunga favoritmu mekar lagi nih di dekat kantin!"
Padahal tak pernah sekalipun dia mengakui menyukai bunga itu.
Bus memasuki terowongan gelap. Dalam kegelapan itu, Seruni akhirnya mengakui, bahwa selama ini dia sengaja bersikap kasar pada Muhsin karena takut diketahui kalau ia menyukai perhatiannya. Dan malu kalau dianggap tidak serius dengan cita-cita kuliahnya. Dan ia kini tahu bahwa bunga krisan kuning di lapangan sekolah rupanya selalu dipetik diam-diam olehnya.
Saat fajar menyingsing, Seruni menulis pesan di badan SMS:
"Muhsin, bukunya... Aku baca.
Gantungan kuncinya cantik.
Nanti kalau anakmu sakit, bawa ke aku. Gratis.
- Dokter Seruni (calon)"
Dia berpikir sejenak. Kemudian menghapusnya lagi, mengurungkan niatnya untuk mengirimkan pesan itu.
Dia lalu menyimpan gantungan kunci itu di dompetnya—tepat di belakang foto kartu mahasiswa barunya.
◇◇◇
Krisan di Beton Kota
Ibukota menyambut Seruni dengan bau busuk got yang menyengat. Gedung-gedung tinggi menjulang seperti penjara besi, memantulkan cahaya matahari yang menyilaukan. Suara klakson dan deru mesin menjadi pengganti kokok ayam di pagi hari.
Di asrama mahasiswa, kamar 3x3 meter itu terasa lebih sempit daripada kamarnya di desa. Angin dari kipas angin murahan hanya mengaduk udara panas, tidak mendinginkan.
Setiap malam Minggu, Seruni melakukan ritual rutinnya: mengeluarkan gantungan kunci kayu dari balik foto ID kampus, membuka halaman acak buku harian Muhsin, dan menulis surat balasan yang tidak pernah dikirim.
"Muhsin,
Hari ini aku bedah mayat pertama kali. Aku muntah 3x.
Dosen bilang ini normal. Tapi kenapa yang kupikirkan justru...
Dulu waktu kita praktik biologi menguliti katak, kau selalu menukar spesimenku dengan yang sudah kau siapkan diam-diam.
Aku tahu itu.
Aku selalu tahu."
Memori itu kemudian datang tanpa diundang: Muhsin yang pura-pura tidak suka sains padahal nilai biologinya selalu tertinggi. Muhsin yang sengaja membuat kelompok praktik dengan Seruni, lalu mengerjakan semua pekerjaannya. Muhsin yang diam-diam meninggalkan bunga krisan segar di lokernya setiap ulang tahun.
◇◇◇
Suara dering telepon memecah kesunyian.
"Seruni? Ini ibu Muhsin... Dia... kecelakaan..."
◇◇◇
Di bus yang meluncur ke kampung halaman, Seruni baru menyadari kalau dompetnya kosong - Uang tabungannya dipakai untuk tiket pulang. Tangan gemetar tak bisa memegang apapun, dan air mata jatuh di atas buku harian Muhsin yang terbuka di halaman:
"3 November 2010:
Aku beli kayu jati bekas lemari. Aku mau bikin sesuatu untuk Seruni sebelum dia berangkat.
Bapak marah karena aku pakai gergaji tanpa izin.
Tapi tidak apa.
Untuk Seruni, aku rela kena marah tiap hari."
Hingga akhirnya ia tiba di rumah sakit.
Lampu fluoresen IGD berkedip pelan, memantulkan kilatan cemas di wajah Seruni. Langkahnya ragu saat menyibak tirai hijau yang separuh tertutup. Bau betadine dan alkohol menyambutnya, tajam dan dingin, seperti udara yang mengelilingi ruang gawat darurat itu.
Di balik tirai, tubuh Muhsin terbaring pucat. Kaki kanannya tergips, dan selimut rumah sakit menutupi hingga perut. Kepalanya miring, napasnya berat.
"Sin...?" suaranya serak, lebih karena kaget daripada sakit.
Seruni menghela napas, menenangkan dadanya yang seolah melompat sejak dari lobi. "Ibu kamu yang telepon," katanya cepat. Alasan itu meluncur lebih sebagai tameng daripada penjelasan.
Mata Muhsin membulat. Di antara sakit dan sisa-sisa obat bius, ia masih bisa mengenali wajah yang sempat memenuhi separuh masa mudanya—Seruni. Gadis yang ia pikir telah menjauh, melupakan, dan memilih dunia yang berbeda. Kini berdiri di depannya, nyata. Bahkan lebih cantik daripada ingatannya yang selama ini ia rawat diam-diam.
Muhsin menelan ludah. Wajahnya menegang, bukan karena nyeri, tapi karena rasa yang lama ia kubur, kini muncul tanpa permisi.
"Serius kamu datang dari kota buat ini?" tanyanya, mencoba terdengar santai. Tapi nada suaranya patah, seperti lututnya yang tak bisa menopang tubuhnya lagi.
"Kebetulan lagi libur praktikum." Seruni menunduk. Matanya tidak berani bertemu pandangnya, seperti ada sesuatu yang terlalu rapuh untuk dilihat langsung.
Sunyi menggantung lama di antara mereka, hanya sesekali dipecah oleh suara mesin monitor pasien dan langkah suster di luar ruangan.
"Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Seruni akhirnya.
Muhsin mengangkat bahu lemah. "Kecelakaan bodoh. Ngejar balon buat acara khitanan massal. Ada motor, aku nggak lihat."
Seruni mengerutkan dahi. "Balon?"
Muhsin menunjuk ke sudut ruangan. Sebuah kardus tergeletak, sebagian isinya—balon warna-warni—keluar dan terjuntai ke lantai.
"Pesanan tokoku," katanya pelan. "Satu lepas waktu aku beresin, terus aku kejar."
Seruni mengamati ruangan itu. Kosong. Terlalu sederhana. Di meja kecil, ada rantang logam bertingkat, masih tertutup rapat.
"Kamu belum makan?" tanyanya.
Muhsin menatap rantang itu sekilas. "Nanti aja. Ibu baru bawa."
Tanpa menjawab, Seruni membuka tutupnya, mengeluarkan sendok, dan mulai menyendokkan nasi ke piring kertas.
"Makan dulu. Biar cepat sembuh. Kalau nggak sembuh, siapa yang jaga toko?"
Muhsin menahan gerakan Seruni dengan tangannya. Tapi ia tidak bicara. Matanya menatap lama.
"Kenapa?" Seruni mengernyit.
Muhsin mengalihkan pandangan ke jendela yang buram. "Kamu repot-repot datang cuma buat nengok penjaga toko kampung kayak aku?"
Seruni terdiam. Dada kirinya menegang. Kata-kata itu menusuk lebih dari yang dia duga.
"Aku nggak ngerti maksud kamu."
Muhsin mengembuskan napas, pendek dan kering. "Kamu nggak pernah bilang, Runi. Tapi aku tahu. Kamu nggak pernah tolak, tapi juga nggak pernah balas. Dan waktu kamu ke kota, kamu hilang. Sekarang datang pas aku kayak gini."
Dia tertawa tanpa nada. Tangannya terangkat, seperti ingin mengusir keraguan yang mengambang di udara.
"Seruni, aku sudah legowo. Kamu nggak perlu merasa bersalah."
Seruni menggigit bibir bawahnya. Jemarinya gemetar sedikit di balik piring yang masih ia pegang.
"Aku nggak—" Ia terdiam, mencari kata yang pas. "...kamu salah paham."
Muhsin menatapnya lagi, kali ini tanpa senyum.
"Apa lagi yang perlu aku pahami, Runi? Kamu bakal jadi dokter. Aku cuma jaga toko kecil di kampung. Kamu lihat dunia dari balik gedung tinggi. Aku dari etalase kayu yang catnya mulai mengelupas."
Seruni mengepalkan tangan. Dadanya sesak oleh kata-kata yang sama sekali tak ia duga, dan yang kini akan dikatakannya seperti tak lagi ada tempatnya.
"Jadi maksud kamu, kita nggak bisa sejajar?" suaranya nyaris bergetar.
Muhsin tidak menjawab. Tatapannya kembali ke langit-langit. Hampa. Tenang, seolah dia sudah berdamai dengan semuanya. Dan justru itu yang menyakitkan bagi Seruni.
Beberapa detik mereka hanya terdiam.
"Makanannya..." Seruni berdiri perlahan. "...jangan sampai dingin."
Dia melangkah pergi sebelum dadanya meledak. Tapi sebelum pintu menutup sepenuhnya, suara Muhsin terdengar pelan, nyaris seperti desahan:
"Makasih sudah datang."
Seruni berhenti sesaat, tapi tak berbalik. Tiga kata itu menempel di telinganya seperti luka yang belum sempat ia rawat. Perjalanan pulang terasa lebih panjang, lebih berat, seakan tiap langkah membawa pulang pertanyaan yang belum selesai.
◇◇◇.
◇◇◇
November 2015
Cahaya jingga pagi menyusup melalui jendela kamar asrama Seruni. Di ambang jendela, sebuah vas kaca bening berisi air dan beberapa kuntum krisan kering menggenggam cahaya pagi dengan lembut. Bunga-bunga itu telah kehilangan warnanya, tapi bentuknya tetap sempurna - seperti kenangan yang memudar tapi tak pernah benar-benar hilang. Buku-buku kedokterannya yang bertumpuk di lantai bersanding dengan sebuah kotak kayu kecil berukir motif bunga.
Kadang, saat terlalu letih belajar, ia membuka laci khusus tempat surat-surat yang ditulisnya tersusun dengan rapi---surat-surat yang tak pernah terkirim. Di dalamnya juga ada sebuah gantungan kunci berbentuk bunga krisan kuning dari kayu
◇◇◇
Saat Wisuda
Angin sore yang beraroma kertas baru dan bunga plastik berputar-putar di antara kerumunan orang tua mahasiswa. Di balik barisan kursi bagian paling belakang, seseorang berdiri menyandar pada kruk kayu yang ia buat sendiri- ukiran sederhana berbentuk tangkai bunga di gagangnya masih terlihat jelas. Di tangan kirinya, seikat krisan kuning segar bergoyang pelan, kelopaknya masih basah seperti masih ada embun pagi yang sengaja ia tangkap sebelum berangkat dari desa.
Saat acara usai, kerumunan mulai bercerai. Seruni yang masih memakai toga terlihat sedang tertawa bersama teman-temannya, wajahnya bersinar seperti kaca patri yang tertimpa matahari senja.
Tiba-tiba, Seruni menyadari ada bayangan kruk kayu yang menyentuh ujung sepatunya.
Seruni berbalik, menatap mata si pemilik bayangan yang tadinya terlihat lelah kini perlahan mulai berbinar.
"Selamat, Dokter," ucap Muhsin pendek, tangannya yang bebas meraba-raba saku jasnya yang sudah usang.
Suasana tiba-tiba hening di antara riuh rendah suara sekitar. Seruni berpamitan pada teman-temannya dengan isyarat tangan, lalu memandu Muhsin ke bawah sebatang pohon flamboyan yang sedang bermekaran.
Mereka berdiri di bawah hujan kelopak merah yang jatuh perlahan.
"Kamu... datang dari desa dengan kruk itu?" tanya Seruni, matanya tak lepas dari bekas luka di pergelangan kaki Muhsin yang masih terlihat di atas kaos kaki.
Muhsin hanya mengangguk, lalu mengulurkan buket krisan kuning itu. "Masih ingat? Yang di tebing belakang sekolah..."
Seruni menerimanya, jarinya tanpa sadar mengusap sehelai daun yang robek.
"Krisan kuning artinya... cinta yang terabaikan."
Muhsin tersenyum, lalu mengeluarkan sebatang krisan putih murni yang disimpan dalam plastik bening.
"Kalau yang ini... kesetiaan yang tak berakhir."
Dalam diam mereka, ada pengakuan yang lebih dalam dari sekadar arti bunga:
Bahwa semakin dewasa, cinta tak menjadi lebih sederhana.
Bahwa kadang, perasaan yang paling benar justru yang paling sulit diungkapkan.
Dan mungkin, mungkin saja, bunga-bunga ini telah mengatakan apa yang tak bisa kita ucapkan.
◇◇◇
Di kamar asrama yang sempit, cahaya senja tembaga menyelinap melalui tirai tipis, melukis garis-garis emas di atas meja kayu lapuk yang dipenuhi tumpukan kertas. Di sana, sepi yang berbicara terhampar dalam bentuk puluhan surat tak terkirim, masing-masing tersusun rapi namun berdebu di sudut-sudutnya.
Pada puncak tumpukan itu, selembar kertas kusam tergeletak terbuka. Tulisan tangan yang rapi namun goyah di ujung-ujung hurufnya membentuk puisi:
Kala pagi datang, mentari terpancar fana
Menyibak embun-embun, menggapai daun-daun
Coba tuk menghangati hidup
Berikan satu arti pada hari yang baru
Kala hujan datang, mentari sembunyi malu
Dingin mengguyur, butir air pun bertabur
Coba tuk berkawan berteduh
Tapi tak daya diri ini telah jauh
Aku hanyalah setangkai seruni
Yang tiada berarti di tengah hamparan
Padanya aku curahkan
Tak mampu kesendirian ini kulawan
Engkau adalah lebah jantan
Yang kuasa atas luasnya taman bebungaan
Di sana, di mana-mana
Mampu engkau dapati tangkai-tangkai wangi nan cantik
Adakah engkau berkenan mencari dan temani
Setangkai seruni nan sepi ini
Di bawah tumpukan surat, terlihat amplop cokelat besar yang masih terbuka, siap untuk diisi dan dikirimkan, yang bertuliskan:
"Ketika Aku Berani Mengatakannya Padamu"
Kadang yang kita rindukan bukanlah orangnya,
tapi versi diri kita yang mampu mencintai dengan begitu sederhana.
No comments:
Post a Comment