[Story #1-1] Kisah-Kisah Bunga: Saliyah

Langkah kecil Saliyah bergegas menembus rintik hujan yang semakin deras. Bunyi kecipakan air dari sepatunya yang basah bersahutan dengan langkah kaki-kaki lain di belakangnya. Dinginnya air hujan tak lagi ia rasakan, karena pikirannya hanya tertuju pada satu hal: bungkusan kecil yang ia sembunyikan di balik jaket sekolahnya.

"Aduh, jangan sampai basah…" gumamnya dalam hati, menyesal karena lupa membawa payung pagi tadi. Padahal ibunya sudah mengingatkan, "Nak, bawa payung yaa… takut nanti hujan." Tapi Saliyah bersikeras, "Enggak ah, Bu. Terang kok hari ini!"

Kini, jaketnya sudah basah kuyup, tapi ia masih bisa merasakan bentuk bunga itu—terbungkus rapi dalam lipatan selendang tari sekolahnya—masih kering.

◇◇◇

"Assalamualaikum…!" seru Saliyah begitu melihat ibunya berdiri di depan pintu, wajahnya penuh kelegaan.

"Waalaikumsalam… Jangan lari-lari, Nak!" jawab sang ibu sambil mengusap rambut Saliyah yang masih meneteskan air.

"Hehehe, maaf, Bu. Tadi mampir sebentar, eh malah kehujanan…"

"Udah, cepat ganti baju. Nanti masuk angin," perintah ibunya sambil merapikan sepatu Saliyah yang tergeletak sembarangan.

Saliyah segera masuk ke kamarnya. Ia melepas jaket dengan hati-hati, lalu memeriksa bungkusan kecil itu. "Syukurlah…" Bunga di dalamnya masih utuh, meski kelopaknya sedikit kusut karena tertekan jaketnya.

Ia mengeluarkan buku-buku dari tas yang sudah basah, menganginkannya di atas meja. "Semoga besok bisa dipakai lagi…" Lalu, ia kembali menatap bunga merah muda itu—bunga yang ia petik dari kebun belakang rumah Paman Onji, tempat ia dan teman-temannya dulu sering bermain.

Kenapa aku sampai segininya melindungi bunga ini? pikir Saliyah. Padahal, kalau dipikir-pikir, tidak masalah jika bunga itu basah. Tapi entah mengapa, sejak kecil, ia selalu merasa bunga-bunga itu seperti… bernyawa.

Terutama bunga yang satu ini.

Bunga Saliyah.

◇◇◇

Setelah berganti baju dan mengeringkan rambutnya, Saliyah menemui ibunya yang sedang duduk di ruang tamu.

"Bu… ingat nggak hari ini hari apa?" tanyanya sambil duduk di sebelah ibunya.

Sang ibu mengerutkan kening, lalu menggeleng.

"Taraaa…!" Saliyah mengeluarkan bunga merah muda itu. "Selamat ulang tahun, Bu!"

Bunga Azalea (Saliyah) sumber : flickr

Matanya berbinar saat melihat ekspresi ibunya—wajah yang lelah karena sakit tiba-tiba bersinar.

"Semoga ibu cepat sembuh… panjang umur… dan bahagia selalu…" lanjut Saliyah, suaranya bergetar.

Sang ibu memegang bunga itu perlahan, seolah-olah ia memegang harta karun. Tiba-tiba, air mata menetes di pipinya yang kurus.

"Terima kasih, Nak…" bisiknya, lalu menarik Saliyah dalam pelukan.

Saliyah menahan isak. Ia tahu ibunya sedang berusaha keras untuk tidak terlihat lemah. Tapi ia juga tahu—asma ibunya semakin parah.

"Saliyah…" panggil ibunya pelan setelah mereka berpisah dari pelukan.

"Iya, Bu?"

"Nama bunga ini Saliyah… sama seperti namamu."

Saliyah mengangguk. Ia sudah tahu.

"Kamu ingat nggak, dulu kamu marah kalau ibu bawa kembang kenanga?"

Saliyah tersenyum kecut. Ia ingat.

"Kamu bilang, 'Itu bunga orang mati, Bu! Jangan bawa-bawa lagi!'" sang ibu menirukan suara Saliyah kecil, membuatnya terkikik.

"Jadi ibu bilang, 'Kalau begitu, carikan ibu bunga yang cantik.' Lalu kamu cari-cari… sampai nemu bunga ini."

Saliyah mengangguk. Ia ingat betul hari itu—hari pertama ia menemukan bunga merah muda di kebun Paman Onji. Saat itu, ia merasa seperti menemukan keajaiban.

"Saliyah memang akan menemukan Saliyah…" gumam sang ibu, memandangi bunga itu dengan mata berkaca-kaca.

Sore itu, meski hujan masih mengguyur di luar, ruang tamu mereka terasa hangat.

Tapi Saliyah belum tahu…

Bahwa ini adalah ulang tahun terakhir ibunya.

◇◇◇

Hujan masih sering turun di pegunungan itu. Tapi sejak hari ulang tahun ibunya, Saliyah merasa ada yang berbeda.

Ibunya semakin sering terbaring lemas. Kadang, di tengah malam, Saliyah terbangun oleh suara ibu yang terbatuk-batuk—napasnya tersengal, seperti ikan yang kehausan udara.

"Ibu, minum obat dulu…" bisik Saliyah suatu malam, membantunya menyemprot inhaler. Tapi kali ini, inhaler itu seolah tak mempan.

Ibunya menggenggam tangannya erat. "Tidak usah khawatir, Nak. Ibu cuma kecapekan saja."

Tapi Saliyah tahu. Ini bukan sekadar capek.

◇◇◇

Pagi itu, langit terlalu biru untuk sebuah kepergian.

Saliyah pulang dari sekolah dengan langkah gontai. Sesampainya di rumah, ia melihat kerumunan orang—tetangga, kerabat, bahkan Pak Dokter yang biasa merawat ibunya.

"Ibu…?" panggilnya pelan.

Tapi tidak ada jawaban.

Seorang bibi menariknya ke pelukan. "Saliyah, kuat ya… Ibu sudah tenang sekarang."

Dunia Saliyah runtuh.

Ia tidak menangis. Tidak juga berteriak. Ia hanya duduk di samping tubuh ibunya yang terbujur kaku, memegang tangan yang sudah dingin—tangan yang seminggu lalu masih menghapus air matanya.

"Ibu… bunga Saliyah di kebun lagi mekar, lho…" bisiknya. Tapi kali ini, tidak ada lagi senyum yang balas menjawab.

◇◇◇

Bunga yang Layu

Aku—Resyan—melihatnya dari kejauhan.

Saliyah, gadis kecil yang dulu selalu ceria, kini seperti bayangan sendiri. Ia terduduk di depan makam ibunya, matanya kosong. Air matanya sudah habis, tapi kepedihannya masih terasa menusuk.

"Saliyah…" ingin kuhela namanya. Tapi suaraku tertahan. Apa gunanya? Apa yang bisa kuberikan padanya selain rasa kasihan?

Aku ingat betul hari-hari ketika ia masih berlarian di sawah, tertawa riang sambil memegang setangkai bunga untuk ibunya. Kini? Ia hanya memegang tanah kuburan.

◇◇◇

Tak lama setelah pemakaman, Saliyah dibawa pergi oleh seorang paman dari kota.

"Kamu harus sekolah yang bagus di sana," kata orang-orang padanya.

Tapi Saliyah tidak peduli. Baginya, kota itu seperti kuburan besar—ramai, tapi sunyi.

Hari-harinya diisi oleh rutinitas baru: bangun pagi, berangkat sekolah, pulang, tidur. Tanpa bunga. Tanpa tawa. Tanpa ibu.

Ia mencoba menanam bunga Saliyah di pot kecil di jendela kamarnya. Tapi bunga itu layu dalam seminggu.

"Mungkin bunga ini hanya cocok di pegunungan…" pikirnya. Seperti dirinya.

◇◇◇

Beberapa tahun kemudian.

Aku sedang berdiri di SPBU sebelah kampus, menunggu teman mengisi bensin.

"Resyan?"

Suara itu membuatku menoleh. Seorang perempuan muda berdiri di belakangku—rambutnya panjang, matanya teduh, tapi senyumnya… Aku mengenal senyum itu.

"Saliyah?"

Ia mengangguk, lalu tertawa. "Kamu jadi tinggi sekali!"

Aku tak percaya. Ini Saliyah? Gadis kecil yang dulu kubayangkan akan hancur selamanya?

Tapi di depanku sekarang, ia berdiri dengan percaya diri. Bukan lagi bunga yang layu, tapi bunga yang belajar tumbuh di tanah mana pun.

"Aku kuliah di sini," katanya sambil menunjukkan kartu mahasiswa.

Dan untuk pertama kalinya sejak kematian ibunya, aku melihat cahaya lagi di matanya.


◇◇◇

No comments:

Post a Comment