[Story #1-8] Kisah-Kisah Bunga: Gazania

Pagi di Gang Sempit


Kabut pagi yang pekat menyelimuti gang seperti selimut kotor. Asap knalpot motor tua bercampur dengan uap nasi uduk yang baru matang dari warung sebelah, membentuk lapisan udara hangat-lembap yang menggelitik tenggorokan. Gazania mengerutkan hidung menahan bau anyir—campuran air comberan yang meresap ke dalam tanah dan bau amis ikan asin dari warung Tionghoa yang baru buka.  

Lorong sempit itu hanya cukup untuk dua orang berjalan beriringan, dengan dinding-dinding rumah yang seolah ingin saling berpelukan. Gazania harus menekuk tubuhnya hampir 45 derajat untuk menghindari jemuran tetangga—sepasang celana dalam merah jambu yang masih meneteskan air hujan semalam, menitik ke tanah becek di bawahnya.  

Kakinya yang hanya beralaskan sandal jepit murah menginjak lumpur hitam yang masih lembek dari banjir minggu lalu. Lumpur itu menyelusup di sela jari kakinya yang pecah-pecah, bercampur dengan butiran pasir tajam dan pecahan kaca kecil. Di tepi jalan, sebuah popok bekas tersangkut di jeruji jendela rumah nomor 14, bergoyang pelan seperti bendera kotor yang menandai wilayah kemiskinan.  

Dari balik dinding triplek warung *"Soto Betawi H. Marjuki"* yang lapuk, suara radio tua yang rusak menyiarkan lagu dangdut. Suaranya terputus-putus, kadang melengking seperti suara orang kesakitan.

"Dengarlah sayang... dengarlah..."

Lalu mati.

Lalu hidup lagi.

Bau tajam tempe busuk—sisa gorengan kemarin yang dibuang terlalu cepat—menguar dari tong sampah besi di ujung gang. Seekor tikus besar dengan ekor seperti tali tambang sedang asyik menggerayangi sampah, matanya yang hitam kecil sesekali melirik ke Gazania sebelum kembali mengunyah sisa-sisa makanan.

Tiba-tiba dari lantai dua rumah petakan, suara serak Bu Marni memecah kesunyian:

"Bunga Kampung! Jangan lupa ambil jatah loe!"

Sebuah kaleng bekas kopi cap ayam jatuh berdebum, menggelinding di tanah becek sebelum ditangkap Gazania dengan refleks orang yang terbiasa menangkap barang-barang berharga. Isinya—dua lembar uang sepuluh ribuan yang sudah lecek dan bungkusan nasi yang sudah lembek oleh uap panas, dibungkus daun pisang yang mulai menguning.

Gazania membuka bungkusannya perlahan. Nasinya sudah berair, sambalnya meleleh menjadi bercak oranye di atas potongan tempe yang menyusut. Tapi ini tetap makanan terhangat yang akan ia dapat hari ini.

"Makasih, Bu," teriaknya, suaranya hampir hilang di antara deru mesin motor butut yang baru saja dinyalakan di ujung jalan. Tangannya yang penuh luka kecil—bekas air panas dan pisau dapur—dengan hati-hati menyelipkan uang itu ke dalam dompetnya yang lusuh dan sobek di satu sisinya—dijahit dengan benang warna-warni tak beraturan.

Di kejauhan, suara anak-anak yang berangkat sekolah mulai terdengar. Tas-tas mereka yang bersih dan sepatu yang masih putih membuat Gazania tak sadar melihat ke bawah—ke kakinya sendiri yang penuh lumpur dan bekas luka.

Tapi pagi harus terus berjalan. Seperti air comberan di gang ini yang terus mengalir, pelan tapi pasti, menuju kali di ujung jalan.


==========


Warung Kopi Senayan


Udara di dalam warung terasa seperti dalam mulut orang demam—lembap, hangat, dan berbau kopi basi yang sudah dimasak ulang tiga kali. Gazania berdiri di belakang meja kayu panjang yang permukaannya penuh dengan lingkaran bekas gelas dan goresan pisau. Meja itu bergoyang setiap kali ada yang bersandar, salah satu kakinya telah diperbaiki dengan tumpukan kertas koran yang digulung rapat.

"Gaza, tolong bersihin meja nomor dua," teriak Bang Anton dari dapur kecil di belakang, suaranya parau oleh rokok kretek dan teriakan sehari-hari. "Tadi si Babe ketiduran di situ, hampir aja gelasnya jatoh."

Gazania mengangguk sambil menekan kain lap yang sudah berubah warna menjadi abu-abu kotor ke permukaan meja. Keringat mengalir dari pelipisnya, membentuk jalur kecil di debu yang menempel di kulitnya. Kipas angin di langit-langit berputar dengan suara seperti kertas amplas digosokkan pada logam, kadang berhenti sejenak sebelum kembali berputar dengan putus asa.

Dari balik tumpukan gelas kotor, Bang Anton muncul dengan wajah berkeringat dan selembar amplop cokelat di tangan. "Nih, Gaz, loe harus liat ini," katanya sambil melemparkan amplop itu ke meja. Amplop itu mendarat tepat di sebelah tumpukan gula yang sudah mengeras karena kelembapan.

Gazania mengambilnya dengan hati-hati. Kulit amplop itu halus di jarinya yang kasar, terlalu halus untuk sesuatu yang akan ia pegang. Saat dibuka, semprotannya mengeluarkan bau—bukan bau keringat atau kopi, tapi sesuatu yang manis dan mahal, seperti parfum yang pernah ia cium di mal ketika membersihkan toilet.

"Bacain, Bang," pinta Gazania, menyerahkan kembali surat itu ke Bang Anton.

Bang Anton menyipitkan matanya yang sudah merah karena kurang tidur. "Denger ya," katanya sambil membersihkan tenggorokannya. "'...kami menghargai semangat Anda... bla bla bla... namun kami membutuhkan karyawan dengan penampilan yang mencerminkan estetika toko kami...'"

Suara Bang Anton memudar di telinga Gazania. Matanya tertarik pada bayangannya di jendela kaca yang retak di sebelah pintu. Di balik retakan seperti sarang laba-laba itu, ia melihat rambut ikalnya yang tak pernah patuh, baju kuning pudar yang sudah mulai melonggar di bagian siku, dan kerah yang melengkung tak karuan setelah dicuci terlalu sering.

"Bangsat juga ya," gerutu Bang Anton sambil meremas surat itu. "Toko bunga kok minta model."

Di belakang Gazania, deretan botol sirup Marjan berdebu memantulkan cahaya matahari yang masuk melalui jendela. Warna oranyenya terang menyala, kontras dengan segala sesuatu di warung ini yang seolah-olah telah kehilangan warnanya. Satu botol sudah hampir habis, isinya mengkristal di sekitar tutupnya seperti darah kering.

"Gaza, kopi nomor satu sama gorengan!" teriak seorang pelanggan dari meja depan.

Gazania mengangguk, dengan cepat menyeka tangannya di celemek yang sudah bernoda. Saat ia berbalik untuk mengambil pesanan, amplop cokelat itu terjatuh ke lantai yang lengket, tepat di bawah kulkas tua yang bunyinya seperti orang tersedak setiap kali mati listrik.

Di luar, klakson motor dan teriakan pedagang sayur mengisi udara, tapi di dalam warung kopi Senayan yang palsu ini, hanya ada dengungan kipas angin yang sekarat dan bunyi gelas yang saling bertabrakan saat Gazania menyusunnya kembali.

"Loe terlalu bagus buat tempat itu," gumam Bang Anton tiba-tiba, sambil menyalakan rokoknya. "Toko bunga mah nggak tau apa-apa soal tanaman yang bisa tumbuh di tanah keras."

Gazania tidak menjawab. Tangannya yang kuat—tangan yang terbiasa memegang ember air panas dan mencuci piring—sekarang dengan lembut menyusun sendok di samping gelas-gelas kopi, memastikan semuanya sejajar sempurna.


==========


Malam di Atap Seng


Langit Jakarta malam itu mengepul seperti kuali tembaga tua yang dipanaskan terlalu lama—gelap tapi memantulkan cahaya-cahaya buatan kota yang tak pernah benar-benar gelap. Gazania duduk bersila di atas seng yang masih menyimpan sisa panas terik siang, membuat kulit pahanya yang langsung bersentuhan terasa seperti ditempelkan pada wajan panas. Bau logam menyengat bercampur dengan asap knalpot dan aroma gorengan dari warung bawah yang baru saja tutup.

"Gazania! Turun sini sekarang!" teriak ibu dari lantai bawah, suaranya menembus celah-celah genteng yang retak. "Kamu dengar apa yang kubicarakan tadi?"

Gazania menekan kuku-kukunya yang sudah pecah-pecah ke telapak tangannya, meninggalkan bekas bulan sabit kemerahan. "Aku dengar, Bu," gumamnya, tapi suaranya hilang di antara deru AC window tetangga yang bunyinya seperti mesin pemotong rumput.

"Duda Kosasih itu punya tiga ruko di Mangga Dua!" teriak ibu lagi, kali ini lebih keras. Gazania bisa mendengar suara kursi kayu digeser dengan kasar di lantai bawah. "Dia mau menanggung biaya pengobatanku! Kamu mau cari suami seperti apa lagi? Pangeran?"

Dari rumah sebelah, suara iklan obat maag tiba-tiba mengeras: "Asam lambung naik? Gerd menyerang? Segera minum Antasida!" diiringi jingle musik elektronik yang ceria, kontras dengan perasaan Gazania. Seekor kecoa besar merayap mendekatinya, antena panjangnya menyentuh jari kelingking Gazania yang sedang gemetar.

"Kamu juga bingung ya, lihat manusia?" bisik Gazania pada serangga itu. "Aku juga." Matanya berkaca-kaca ketika mengingat tatapan si pemilik toko bunga kemarin siang—bagaimana mata itu dengan cepat menyapu tubuhnya dari kepala ke kaki, lalu berhenti di sepatunya yang solnya sudah mengelupas.

Hatinya berontak. "Aku bisa kerja, Bu!" teriaknya tiba-tiba ke bawah, suaranya serak. "Aku nggak perlu nikah sama orang yang cuma mau beli kita!"

"Kerja? Kerja apa?" suara ibu semakin tinggi. "Cuci piring di warung kopi sampai umur 30 tahun? Lihat tetangga kita, Siti! Umurnya baru 22 sudah punya dua anak dan suaminya bisa beli motor baru!"

Gazania menarik napas dalam. Di depannya, sekumpulan kecil bunga gazania liar tumbuh di sela-sela genteng, akarnya mencengkeram kuat pada debu dan lumut yang menumpuk di sudut atap. Bunga-bunga kuning itu bergoyang ditiup angin kotor kota, tapi tetap tegak.

"Kita sama," bisik Gazania sambil menjulurkan jari, menyentuh kelopak bunga yang halus. "Tapi bedanya..." suaranya pecah, "aku bisa memilih untuk pergi dari sini."

Tiba-tiba, tetesan air jatuh tepat di tengah bunga itu, membuatnya terkulai sebentar sebelum kembali tegak. Gazania baru menyadari pipinya yang basah ketika tetesan kedua menghujam seng di sampingnya, diikuti oleh yang ketiga, keempat, sampai akhirnya langit pecah dan hujan turun membasahi seluruh permukiman kumuh ini.

Dari bawah, suara ibu masih terdengar walau sudah tertutup rintik hujan: "Kamu egois! Hanya memikirkan dirimu sendiri!"

Gazania tidak segera turun. Ia tetap duduk di tengah hujan, membiarkan air yang mungkin mengandung asam itu mencuci wajahnya, mencampur air mata dengan air hujan. Di tangannya, ia menggenggam erat sehelai daun gazania yang patah, sambil bertekad bahwa besok pagi, ia akan mulai menjahit bunga-bunga dari kain perca itu—bukan untuk dijual, tapi sebagai pengingat bahwa ada kehidupan yang bisa tumbuh di tempat yang paling keras sekalipun.

Hujan semakin deras ketika Gazania akhirnya berdiri. Di kejauhan, lampu-lampu gedung pencakar langit masih berkedip-kedip, seolah mengejek kemiskinan di bawahnya. Tapi malam ini, Gazania memilih untuk tidak melihat ke atas, melainkan menatap bunga-bunga liar di kakinya—bukti nyata bahwa keindahan bisa muncul dari retakan kehidupan yang paling keras.


==========


Kain Perca dan Sinyal WiFi


Lampu neon warung kopi itu berkedip tiga kali sebelum akhirnya menyala penuh, memancarkan cahaya putih kebiruan yang membuat bayangan Gazania bergoyang-goyang aneh di dinding. Jam dinding karton bergambar pemandangan Bali di sebelah kulkas menunjukkan pukul 21:37—tiga puluh menit lagi sebelum Bang Anton menutup warung dan WiFi menjadi lebih stabil.

Gazania menggosok-gosokkan tangannya yang kasar, merasakan kapalan di ujung jarinya yang sekarang mulai terasa kaku. Biasanya tangan ini memegang ember cucian berisi air sabun panas, atau menggosok wajan berminyak sampai bersih. Malam ini, jari-jemarinya yang pendek dan kuat dengan luka kecil di sana-sini sedang menari di atas selembar kain perca bekas baju sekolah anak tetangga—warna biru muda yang sudah pudar, dengan sedikit noda tinta di bagian pinggir.

"Loe masih di sini, Gaz?" Bang Anton muncul dari belakang tirai plastik biru yang memisahkan dapur dengan area warung, tangan kanannya memegang lap kotor yang selalu ia kalungkan di bahu.

Gazania tidak langsung menjawab. Bibirnya mengatupkan tiga jarum pentul kecil sambil matanya fokus mengukur pola di kain itu. Baru setelah jarum-jarum itu aman terselip di kerah bajunya, ia menjawab, "Bentar lagi selesai, Bang. Ini tinggal jahit benangnya aja."

Bang Anton mendekat, mengintai karya Gazania. "Bunga lagi? Kayaknya minggu ini udah lima kali loe bikin motif bunga."

Ini bukan pertanyaan, tapi Gazania tetap menjawab sambil tangannya terus bekerja, "Iya, gazania. Bunga kampung." Gunting kecil di tangannya bergerak lincah memotong kelopak demi kelopak, membentuk pola yang sudah ia hafal di luar kepala.

Dari kantong plastik kecil di sampingnya, ia mengeluarkan gulungan benang bekas karung beras—warnanya cokelat kusam tapi kuat. Jarum jahit nomor 7 yang sudah bengkok di ujungnya menusuk-nusuk kain dengan ritme teratur.

"Jam segini WiFi-nya lebih lancar," gumam Gazania lebih kepada dirinya sendiri ketika jam menunjukkan pukul 21:55. Matanya sesekali melirik ke HP murahnya yang diletakkan di samping, layarnya penuh dengan goresan tapi masih bisa menampilkan notifikasi-notifikasi penting:

[KreasiGazania]: Ini bros gazania terbaru, bisa custom warna

Notifikasi (23):

@sri_ratna: Unik banget! Aku mau pesan 5 buat temen kantor

@bunga_ayu: Kalau mau warna merah marun bisa?

@diy_craftlover: Bahannya dari apa?

Bibir Gazania menyungging senyum tipis. Tangannya yang sedang menjahit berhenti sejenak untuk membalas salah satu komentar. Jarinya yang tebal kesulitan mengetik di layar kecil, tapi ia bersabar.

"Loe udah kayak anak sekolahan ngerjain PR," komentar Bang Anton sambil membersihkan mesin kopi. Tapi Gazania tahu itu bukan ejekan—sejak dua minggu lalu, Bang Anton diam-diam menyimpan uang receh di celengan kaleng susu bekas di belakang kasir. "Buat beli jarum jahit yang bener," katanya kemarin sambil mengetuk-ngetuk kaleng itu.

Pukul 22:15. Warung sudah sepi. Bunyi kipas angin dan derit lantai kayu saat Bang Anton menyapu adalah satu-satunya suara. Gazania mengangkat karyanya ke cahaya lampu—sebuah bros bunga gazania dengan kelopak berlapis tiga, bagian tengahnya ia hias dengan kancing kecil bekas baju bayi.

"Bagus nggak, Bang?" tanyanya, suaranya kecil tapi penuh harap.

Bang Anton mendekat, matanya menyipit. "Yah... lumayanlah. Tapi kenapa nggak bikin yang laku keras? Kayak tas atau dompet?"

Gazania mengusap-usap bunga kain di tangannya. "Ini... ini spesial." Ia tidak menjelaskan bahwa setiap kali membuat bunga gazania, ia seperti membuktikan pada diri sendiri bahwa sesuatu yang indah bisa lahir dari bahan-bahan yang dianggap sampah.

Pukul 22:30. WiFi memang lebih lancar sekarang. Gazania mengupload foto terbarunya—bros gazania itu diletakkan di atas selembar kertas koran, dengan latar belakang dinding warung kopi yang penuh coretan harga.

"Bros gazania handmade. Bahan perca dan benang daur ulang. Tahan air dan kenangan."

Ia menekan 'unggah', lalu memandangi layar HP-nya yang butuh waktu lima menit hanya untuk mengirim satu foto. Di luar, suara anjing menggonggong dan motor lewat sesekali memecah kesunyian.

Gazania tidak peduli. Malam ini, seperti malam-malam sebelumnya, ia akan tetap di sini sampai karyanya selesai. Karena di warung kopi palsu ini, di bawah cahaya neon yang berkedip-kedip, di antara bau kopi basi dan suara kipas yang reot, Gazania menemukan sesuatu yang lebih berharga daripada belas kasihan orang—kemandirian yang tumbuh perlahan, seperti gazania liar di sela-sela genteng.


==========


Api di Tengah Malam


Pukul 03:17. Gazania terbangun oleh suara ledakan pendek—seperti balon ditekuk terlalu keras—diikuti jeritan tikus-tikus yang tiba-tiba menjadi ribut di plafon. Bau anyir kabel terbakar menusuk hidungnya sebelum ia sempat membuka mata sepenuhnya.

"Listrik!" teriaknya, tubuhnya langsung bangkit dari kasur lipat. Kakinya yang telanjang menginjak lantai kayu yang sudah hangat.

Dari jendela kamar sempitnya, cahaya oranye berkedip-kedip menerobos celah gorden bekas sarung. Gazania menyibaknya—lidah api sudah menjilat dinding warung "Soto Betawi H. Marjuki" di seberang gang, melahap papan reklame bergambar soto yang selama ini jadi penanda jalan. Asap hitam pekat menggumpal seperti awan badai, menutupi bintang-bintang.

"Ibu! Bangun!" Gazania meraih tas kain tebalnya—tempat ia menyimpan semua barang berharganya, surat-surat, sedikit uang miliknya, dan juga jarum, benang, dan beberapa kain perca—sambil menyeret kursi roda ibu yang masih tertidur lemas karena obat penenang. "Kebakaran! Cepat!"

Suara pecahan kaca berhamburan di luar. Gazania mendorong kursi roda dengan satu tangan, sementara tangan lainnya memegang erat tas berharganya. Udara sudah terasa panas di lorong sempit rumah mereka ketika ia membuka pintu—asap langsung menerpa wajahnya, membuat matanya perih.

Di gang, kekacauan sudah merajalela. Warga berlarian dengan ember dan karung basah. Seorang lelaki setengah telanjang memukul-mukul api yang menjalar di tumpukan kardus dengan sepatu. "Tolong! Pompa airnya macet!" teriak seseorang dari arah sumur umum.

Gazania mendorong kursi roda ibu melewati genangan air kotor—campuran air comberan dan air pemadam—ketika tiba-tiba atap seng rumah mereka melengkung dengan suara mengerang. Bunga gazania liar yang biasa ia rawat di atap sekarang jadi sulur api yang menjulur ke langit.

"Tas kita—" Ibu batuk-batuk, matanya merah oleh asap. "Di bawah kasur—uang obat!"

Gazania menoleh ke rumah yang sudah separuh dilalap api. Di tengah kepanikan, matanya menangkap sesuatu di tanah: sehelai kain perca berbentuk kelopak bunga—sisa bros gazania yang terjatuh—terbakar di tepi jalan, menyisakan pinggiran yang masih utuh.

"Aku kembali, Bu!"

Tanpa pikir panjang, ia berlari masuk.


==========


Abu dan Benang


Kabut asap masih menggantung tebal di atas permukiman ketika fajar tiba. Gazania duduk di terpus sekolah dasar yang dijadikan posko pengungsian, memandangi sisa-sisa yang berhasil ia selamatkan:

Sebuah tas plastik berisi obat-obatan ibu

Kursi roda dengan roda kiri yang sudah miring

Kaleng susu bekas tempat Bang Anton menyimpan uang receh—sekarang hangus di satu sisi

Segenggam kain perca yang sempat ia kumpulkan dari reruntuhan

Dua helai benang merah dan kuning masih menempel di jarinya, meleleh oleh panas api tadi malam seperti lilin.

"Rumah kita... habis," desis ibu dari kursi rodanya, suaranya datar. Matanya menatap sepatu Gazania yang sebelah solnya terlepas—hasil terinjak-injak saat evakuasi.

Gazania mengangkat wajah. Di seberang jalan, petugas kelurahan sedang mendata kerusakan. "Konslet.. Listrik ilegalnya warung H. Marjuki," terdengar seorang petugas berkata, "ditambah gas bocor—"

"Gaz! Ibu!" Bang Anton muncul dari kerumunan, wajahnya hitam oleh jelaga. Tangannya menggapai-gapai udara sebelum akhirnya meremas pundak Gazania. "Aku punya kenalan di kelurahan... ada kamar kos dekat puskesmas. Murah."

Gazania melihat ke tas kerajinannya. Bros gazania terakhir yang ia buat kini berubah jadi gumpalan kain kusut berbau hangus. Tapi di balik lapisan arang, kancing bunganya masih utuh—masih bisa dipakai.

"Kita ambil, Bang," katanya tiba-tiba, suaranya serak oleh asap tapi tegas. "Tapi aku mau kerja sama kelurahan buka pelatihan menjahit untuk korban kebakaran."

Ibu mengangkat alis. "Kamu bisa mengajar?"

"Lihat ini." Gazania merogoh tas plastik—mengeluarkan secarik kain biru muda yang selamat dari api. Dengan jarum yang ia pinjam dari posko, jemarinya mulai menari. Lima belas menit kemudian, di atas kain itu mekar sebuah gazania sederhana dari jahitan kasar.

"Bukan bunga sungguhan," bisiknya, "tapi cukup kuat buat bertahan di tanah baru."

Petugas kelurahan yang lewat terhenti. "Kreasi daur ulang? Bagus untuk program pemulihan trauma."

Gazania tersenyum. Di kejauhan, sirene pemadam masih berbunyi. Tapi di tangannya, benang-benang itu sudah mulai merajut harapan baru.


==========


Mekar di Antara Seng dan Kain Perca


Pagi itu, sinar matahari menyusup melalui jendela kamar kos mereka yang baru—jauh lebih terang daripada celah-celah genteng bocor di rumah lama. Gazania membuka tirai kain perca bergaris biru yang ia jahit sendiri dari sisa-sisa baju sekolah, menyambut kabut pagi Jakarta yang sudah mulai tercampur asap knalpot. Di ambang jendela, tiga pot gazania dalam kaleng susu bekas bermekaran—satu untuk setiap tahun sejak kebakaran merenggut rumah mereka.

"Yang di tengah mekar sempurna hari ini, Bu," Gazania menoleh ke belakang, tangan masih mengepal benang merah yang baru saja ia putuskan dengan gigi.

Ibu duduk di kursi roda barunya—hadiah dari program rehabilitasi kelurahan—tangan lincah memilah potongan denim bekas. "Seperti bros pesanan ibu kos kemarin," sahutnya sambil menjepit bahan dengan jepitan kayu. Suaranya jelas, tanpa diselingi batuk berdarah seperti dulu.

Gazania mengamati ibu menyusun pola. Tiga tahun lalu, mereka hanya punya segenggam kain hangus. Sekarang, meja jahit kecil mereka dipenuhi pesanan:

Bros gazania untuk seragam perawat puskesmas

Gantungan kunci dari kain daur ulang pesanan kantor kelurahan

Boneka kecil untuk program trauma healing anak-anak korban kebakaran

Di dinding, sertifikat "Pelatihan Pengembangan Daur Ulang Kreatif" tergantung miring di sebelah foto lama rumah mereka yang terbakar.

"Ini untuk Bu Neni," Gazania meraih sebuah bros berbentuk kuncup setengah mekar dari kotak di bawah tempat tidur. "Yang pesan khusus warna ungu, kan? Aku tambahkan payet dari tutup botol bekas."

Ibu memeriksa karya itu, lalu tiba-tiba menggenggam tangan Gazania. "Dulu aku marah karena kau menolak duda Kosasih," ujarnya, mengusap-usap kapalan di jari anaknya, "tapi lihat sekarang—kita punya motor sendiri." Matanya menunjuk ke kunci motor bekas yang tergantung di pintu.

Gazania tersenyum. Di luar, Jakarta bergemuruh seperti biasa. Tapi di kamar berukuran 3x4 meter ini, ada keajaiban yang tumbuh dari abu:

Gazania di Kaleng Susu - Akarnya merambat di media tanam dari sabut kelapa bekas, bertahan meski hanya disiram air hujan.

Album Foto Daur Ulang - Berisi gambar-gambar mereka menjahit di posko pengungsian, menerima sertifikat, foto pertama di depan kamar kos baru.

Celengan Kaleng Kopi - Masih sama seperti di warung Bang Anton dulu, tapi sekarang isinya uang setoran cetak bros pesanan.

"Pesanan toko bunga datang, Gaz!" teriak ibu sambil membuka surel di tablet bekas pemberian kelurahan. "Mau pesan 50 bros lagi—untuk bingkisan ulang tahun anak direktur."

Gazania memandangi bunga gazania di jendela. Bunga itu mengangguk-angguk ditiup angin, seakan berkata: Lihat, kita bisa tumbuh di mana saja. Bahkan di atas kaleng bekas.


==========


Mereka bilang kami seperti gazania—bunga yang nekat tumbuh di tempat salah. Tapi ibu dan aku tahu kebenarannya: kami bukan bunga yang tersesat. Kami adalah benih yang dengan sengaja memilih untuk tumbuh di sela-sela genteng ini, karena di sinilah kami belajar arti bertahan hidup dan merangkai makna dari setiap sobekan kain perca kehidupan.


Dan selama masih ada kain perca, jarum, serta tanah untuk akar kami, kami akan terus mekar: tak sempurna, tapi cukup kuat.


No comments:

Post a Comment