[Note] Seucap Kata Maaf

Di antara senyap malam dan riuh dunia yang terus berjalan, ada satu adegan yang mungkin pernah kita saksikan, atau bahkan kita alami:

seseorang yang sedang sakit, lemah, terbatas, tergantung,

dan dengan suara lirih yang nyaris patah, ia berkata,

"Maaf, ya..."


Permintaan maaf yang datang bukan karena kesalahan,

melainkan karena rasa bersalah yang lahir dari ketidakberdayaan.

Sebuah kalimat yang mungkin terdengar sederhana,

namun mengandung segunung beban yang tak kasat mata.


Mengapa orang yang sedang sakit begitu sering meminta maaf?


Karena di titik paling rapuh dalam hidup, manusia menjadi sangat jujur pada dirinya sendiri.

Ia melihat tubuh yang tak lagi mampu,

ia menyaksikan harapan yang mengecil seperti nyala lilin tertiup angin,

dan ia merasakan bagaimana waktu tak lagi bersahabat.


Di tengah semua itu, ia menyadari bahwa kehadirannya, yang dulu mungkin penuh keceriaan dan tawa, kini berubah menjadi kebutuhan yang harus dipenuhi orang lain.

Dan itu menyakitkan.


Orang yang sakit sering merasa menjadi beban,

meski tidak pernah diminta untuk merasa demikian.

Ia melihat wajah lelah dari orang-orang yang menunggunya,

ia mendengar derit langkah kaki di lorong ruang sebelah,

ia mencium aroma obat yang menggantikan harum masakan di rumah.


Lalu, dari kedalaman hatinya yang penuh cinta dan rasa bersalah, ia berkata:

"Maaf, ya... sudah merepotkan..."

"Maaf, ya... aku tidak sekuat dulu..."


Tapi pernahkah kita, yang sehat, berhenti sejenak dan membalikkan pandangan?


Bukankah seharusnya bukan mereka yang meminta maaf,

melainkan kitalah yang seharusnya berkata,

"Maaf... karena selama ini kami lupa bersyukur."

"Maaf... karena kami menjalani hidup tanpa benar-benar menghargainya."


Mereka yang sakit tidak iri pada harta, tidak iri pada tahta.

Yang mereka rindukan justru adalah hal-hal yang paling sederhana:

bisa makan dengan enak tanpa rasa mual,

bisa tertawa tanpa batuk yang menyela,

bisa berjalan ke luar rumah tanpa harus merasa sesak di dada.


Mereka ingin kembali menjadi biasa,

sementara kita yang hidup dalam kebiasaan sehat justru sering mengeluh,

melupakan betapa berharganya napas yang lega dan tubuh yang ringan.


Lalu, tidakkah itu membuat kita merenung?

Ketika mereka yang sedang sakit merasa iri pada hidup yang kita jalani,

bukankah seharusnya kitalah yang meminta maaf…

karena telah menyia-nyiakan hidup yang mereka doakan setiap hari?


Kita terus berlari mengejar ambisi,

mengeluh tentang cuaca, pekerjaan, bahkan makanan yang kurang garam,

sementara mereka hanya ingin satu hari tanpa rasa nyeri.


Maka mungkin, kita perlu berhenti sejenak.

Bukan untuk merasa bersalah,

tetapi untuk merasa sadar.


Sadar bahwa kesehatan adalah nikmat yang tak selalu abadi.

Sadar bahwa tubuh yang kita miliki hari ini bisa menjadi tubuh yang menua dan melemah esok hari.

Sadar bahwa cinta kadang tak terucap lewat pelukan,

tetapi lewat kesabaran menjaga orang yang terbaring lemah di atas ranjang.


Dan ketika mereka berkata “maaf,”

barangkali mereka sedang berkata:

"Terima kasih... Terima kasih karena masih bertahan di sisiku, meski aku bukan aku yang dulu."


Dan saat itu, barangkali jawaban yang paling tulus dari kita bukanlah,

"Tidak apa-apa..."


Melainkan,

"Maafkan aku juga... karena baru kali ini aku benar-benar mengerti betapa berharganya hidupmu." 

No comments:

Post a Comment