[Story #1-7] Kisah-Kisah Bunga: Himawari

Akar yang Terbongkar


Pagi itu, langit Jakarta terlihat seperti kertas foto lama yang menguning di tepiannya. Kabut asap dan debu konstruksi menggantung di antara gedung-gedung, membuat mata Hima perih setiap kali melirik ke luar jendela kamarnya. Ia duduk di lantai kamar yang sudah setengah kosong, punggung bersandar pada dinding yang masih meninggalkan bekas segiempat putih tempat sebuah pigura pernah tergantung selama dua puluh tahun.

Ponsel di sampingnya bergetar lagi. Tidak perlu dilihat—pasti Ibu. Sudah lima pesan berturut-turut sejak pukul tujuh pagi. Hima menarik napas dalam, menghembuskannya perlahan sambil menatap langit-langit kamar. Di sana masih ada jejak bintang-bintang fosfor yang ditempelkan Ayah ketika ia berusia delapan tahun—sekarang sudah pudar dan ada yang mengelupas.

"Notaris datang jam 3. Bawa KTP."

Lima kata yang membuat dadanya sesak. Hima meremas-remas kaus oblong abu-abu di pangkuannya—kaus lama Ayah yang tak sengaja terselip di antara tumpukan baju yang akan disumbangkan. Kain itu sudah tipis, tapi masih menyimpan aroma aftershave merek lama Ayah, wangi yang sudah sepuluh tahun tidak lagi mengisi rumah ini.

Dari bawah, suara Ibu memanggil:

"Hima! Tolong bantu Ibu di ruang tamu!"

Suara itu bergema di rumah yang terasa semakin besar dan hampa. Setiap langkahnya di tangga berbunyi nyaring, berbeda dengan dulu ketika karpet tebal masih menutupi kayu tua ini.

Ruang tamu yang dulu dipenuhi foto keluarga sekarang hanya menyisakan dinding yang terlihat lebih gelap dari sekitarnya. Ibu berdiri di tengah lautan kardus, wajahnya berkeringat, tangannya menggenggam palu kecil untuk membongkar rak buku.

"Hima, kamu harus memilih," Ibu berkata tanpa menoleh, suaranya datar seperti membaca daftar belanja. "Ibu tak bisa menyimpan semua barangmu. Apartemen baru Ibu kecil."

Hima mengepalkan tangan di samping tubuhnya. Matanya tertarik pada sudut ruang dekat jendela—di sana, di sudut ruang tamu yang berantakan itu, sebuah pot tanaman tua masih bertahan. Satu-satunya yang belum dibongkar. Pot bunga matahari setinggi lutut masih bertahan. Daunnya yang lebar berdebu, tapi bunganya yang kuning cerah tetap tegak menghadap jendela—seperti tentara kecil yang menolak menyerah.


==========


Jejak di Tanah yang Lama


"Lihat, Him! Bunga ini selalu tahu di mana matahari, bahkan tanpa kita beri tahu," bisik Ibu dulu, ketika pertama kali menanam biji bunga matahari itu bersama Hima kecil.

Hima berlutut di depan pot tanaman tua itu. Jemarinya menyentuh daun yang layu, dan sentuhan itu seperti kunci yang membuka peti kenangan.


10 Tahun yang Lalu

Angin musim hujan menggerakkan tirai jendela kamar Hima yang masih remaja. Dari balik pintu tertutup, suara Ibu dan Ayah seperti petir yang terus bergemuruh.

"Kau pikir aku tidak tahu tentang dia?" teriak Ibu, suaranya pecah.

"Kita bicarakan ini nanti—"

"Tidak ada nanti! Notaris sudah aku hubungi besok!"

Hima menekan bantal ke telinganya, tapi bau tanah basah menyusup masuk. Di taman bawah, pot biru kesukaan Ibu terbalik—mungkin diterjang angin. Tanamannya tercabik, akarnya terbuka seperti luka.

Dengan tangan gemetar, Hima mengambil sekop kecil dan berlari ke taman. Hujan mulai turun ketika ia berusaha menanam kembali bunga-bunga itu satu per satu. Air hujan bercampur air mata di pipanya.

"Ayah, tolong bantu aku!" teriaknya ke arah rumah, tapi jendela kamar orang tua sudah gelap.

Keesokan paginya, hanya satu batang bunga matahari yang tersisa hidup. Ayah sudah pergi dengan koper hitamnya.


Kembali ke Masa Kini

"Hima?" Ibu sekarang berdiri di belakangnya, tangan masih memegang palu. Matanya mengikuti pandangan Hima ke arah tanaman itu. "Oh... itu masih ada?"

Suara Ibu bergetar aneh. Hima baru menyadari—ini bukan sekadar tanaman biasa. Ini sisa tanaman yang berhasil ia selamatkan malam sebelum keluarganya hancur.

Di sudut pot, sesuatu berkilau. Hima mengorek tanah dan menemukan—sebuah liontin kecil berbentuk kunci. Liontin pemberian Ayah untuk ulang tahunnya yang ke-12.


Saat itu...

"Ini untuk putriku yang berani," Ayah mengalungkan liontin itu di leher Hima. Mereka berdiri di taman yang sama, bunga matahari bermekaran di sekelilingnya.

"Kunci apa ini, Yah?"

"Kunci untuk semua mimpimu. Nanti kalau kau besar, kita akan—"

Teriakan Ibu dari dalam rumah memotongnya. "Telepon darurat dari kantormu!"

Wajah Ayah berubah. "Simpan baik-baik ya," bisiknya sebelum berlari masuk.

Hima tidak pernah tahu kunci itu untuk apa. Dan sekarang, Ayah tidak akan pernah menjelaskan.

Ibu tiba-tiba berjongkok di sampingnya, tangannya yang biasanya sigap sekarang gemetar menyentuh liontin. "Ibu tidak tahu kamu menyembunyikannya di sini."

Mata mereka bertemu. Untuk pertama kalinya sejak prosesi pindahan ini dimulai, Hima melihat air mata di mata Ibu.

Tanaman tua itu di antara mereka tiba-tiba terasa seperti makam kecil—makam untuk semua janji yang tidak pernah terpenuhi, semua kata yang tidak sempat diucapkan.

Dari luar, suara mobil notaris sudah terdengar memasuki halaman. Tapi di ruangan ini, waktu seolah berhenti ketika Hima dan Ibu duduk di lantai, memandangi sisa-sisa kehidupan lama mereka yang tersembunyi di balik akar tanaman yang enggan mati ini.


==========


Pot yang Lebih Besar


Malam itu, setelah notaris pergi dengan dokumen-dokumen yang telah ditandatangani, Hima membongkar kotak terakhir di gudang. Sinar bulan menyusup dari jendela kecil, menerangi debu-debu yang berterbangan seperti serpihan masa lalu.

Buku album foto itu terbuka di halaman pertama—sebuah foto polaroid Ibu muda berdiri di depan kontrakan sempit, memegang pot berisi tanaman kecil dengan bangga. Tangannya yang sekarang keriput masih sama persis seperti saat itu—mencengkeram pot dengan hati-hati, seolah itu harta paling berharga.

Hima membalik halaman demi halaman:

- Ibu di depan rumah petak dengan atap seng, memeluk kardus berisi peralatan dapur

- Ibu hamil muda di teras rumah sewa, tangan menunjuk ke arah taman kecil yang baru digarap

- Foto mereka bertiga—Hima bayi digendong di antara orang tuanya yang tersenyum lebar

Di halaman terakhir, catatan Ibu dengan tinta yang sudah memudar:

"Tanaman terakhir di rumah lama selalu mati. Ternyata akarnya sudah menjebol pot. Baru tahu, ada tanaman yang justru perlu pot lebih besar."


Keesokan Harinya

Sinar pagi menyentuh retakan kecil di dasar pot tanaman tua itu. Hima mengangkatnya dengan hati-hati—dan di sana, akar-akar putih yang kekar telah menembus tanah, menjalar keluar mencari ruang baru.

"Kita butuh pot yang lebih besar," bisik Hima pada tanaman itu.

Suara Ibu dari dapur membuatnya menoleh. "Ibu membuatkan kopi. Kamu mau—" Ibu terhenti melihat pot di tangan Hima. Matanya berbinar.

Hima tersenyum. "Akar-akarnya sudah terlalu besar untuk pot ini."

Ibu mendekat, tangannya yang biasanya sibuk membersihkan sekarang dengan lembut menyentuh daun yang layu. "Dulu... waktu kita pindah ke sini, aku membawanya dari rumah sebelumnya." Suaranya kecil. "Ayahmu bilang lebih baik beli yang baru, tapi aku nekat memindahkannya."


Dua Bulan Kemudian

Di balkon apartemen barunya, Hima memindahkan bunga matahari itu ke pot baru. "Kau memang tidak butuh tanah luas," bisiknya pada tanaman itu sambil menyentuh kuncup baru yang muncul di ketiak daun. "Cukup tahu ke mana harus menghadap."

"Dia akan berbunga lagi," kata Ibu yang sedang menyusun piring-piring di meja makan kecil. Bau kue bolu kesukaan Hima memenuhi ruangan.

Hima menyirami tanaman itu, memperhatikan bagaimana air meresap perlahan ke dalam tanah baru. Di balik daun-daun itu, liontin kunci kecil yang ditemukannya dulu kini tergantung di ranting terkuat—sebuah pengakuan bahwa beberapa kenangan memang layak dibawa, meski harus dicabut dari tanah lama.

Ketika senja menyentuh balkon, bunga matahari itu perlahan memutar mahkotanya—tidak lagi ke arah jendela, tapi ke dalam ruang di mana Ibu sedang tertawa menceritakan kisah lama. Hima tersenyum. Sekarang Hima mengerti: tanaman itu bukan mencari matahari. Ia menciptakan mataharinya sendiri—dengan tetap tumbuh ke atas, apa pun yang terjadi.

Akhirnya mereka menemukan matahari yang sama.

Terkadang, kita bukan kehilangan rumah—kita hanya perlu menemukan pot yang lebih besar untuk akar-akar yang telah tumbuh terlalu dalam.


No comments:

Post a Comment