Gunung Lawu, 2001 – Senja
Kabut tebal menyelimuti punggungan gunung seperti selimut kapas yang basah. Edelle menginjak batu licin, nyaris tersandung saat suara kerikil berjatuhan menggema di tebing sebelah. Butiran kecil bebatuan meluncur ke jurang, menghilang dalam kegelapan yang dalam. Suhu enam derajat Celsius membuat setiap hela nafasnya mengeluarkan kabut putih pendek.
"Hey! Itu jalur longsor—!" teriaknya, tapi suaranya tenggelam dalam deru angin yang menderu di antara celah-celah bebatuan.
Dari balik tirai kabut yang bergulung-gulung, siluet seorang lelaki asing muncul perlahan. Jaket oranye menyala miliknya sudah compang-camping, sobekan di bagian lengan memperlihatkan kulit yang tergores batu. Tangan kanannya mencengkeram tebing dengan kuku yang penuh tanah, sementara tangan kirinya—
"Astaga, kamu metik Edelweiss?!" Edelle menjatuhkan tas carrier-nya dengan keras, suaranya memecah kesunyian pegunungan.
Di antara jari-jari lelaki itu yang bergetar kedinginan, sekuntum bunga putih Edelweiss bergoyang lemah. Kelopaknya yang berbulu halus masih segar, akarnya yang pendek menggantung dengan butiran tanah vulkanik yang gelap.
Lelaki itu mengabaikannya. Dengan gerakan lambat, ia menyelipkan bunga langka itu ke kantong dadanya yang sudah basah oleh keringat. Kain kantong itu langsung meninggalkan jejak tanah di jaketnya.
"Bang, kamu melanggar hukum lho. Denda lima juta atau penjara kalau ketahuan!" Edelle meraih tali pengaman dari pinggangnya, kulit tangan yang sudah pecah-pecah karena dingin terasa perih saat menggenggam karabiner.
Lelaki itu akhirnya menoleh. Matanya biru pucat seperti es yang mencair di bawah sinar matahari senja. Bayangan wajahnya yang kurus terlihat jelas dalam cahaya jingga yang mulai memudar.
"Dokter bilang... kalau bertahan 5 tahun, peluang sembuh Lina 50%." ujarnya datar. Suaranya serak, seperti tak terpakai bertahun-tahun. "Dia kena kanker,"
Edelle berhenti di tempat. Kaki botnya menginjak lumut yang berderak. "Lina?"
"Anakku." Jarinya yang berdarah dan kotor menepuk kantong tempat Edelweiss disimpan, meninggalkan noda kecoklatan di kain. Sekilas bau antiseptik rumah sakit yang menempel di bajunya tercium ketika angin berbalik arah. "Dia selalu minta aku buat bawakan bunga ini. Dia ingin tahu... bagaimana indah kelopaknya."
Angin tiba-tiba bertiup kencang dari arah lembah, membawa serta aroma tanah basah setelah hujan dan sesuatu yang lain—bau disinfektan rumah sakit yang kuat, seolah-olah lelaki ini baru saja keluar dari ruang ICU.
"Tapi kan..." Edelle menatap jurang di bawah mereka. Tebing tempat Edelweiss ini tumbuh adalah yang terparah di Lawu, dengan kemiringan hampir lebih dari 60 derajat. Batu-batuannya rapuh, ditumbuhi lumut yang licin. "Nekat banget kamu mempertaruhkan nyawa buat—"
"Persis seperti Lina yang mempertaruhkan hidupnya tiap kali kemoterapi," potong lelaki itu tiba-tiba. Tangannya yang gemetar mengeluarkan sebuah foto dari dompet kulit yang sudah usang. Foto itu lecek di bagian sudut, memperlihatkan seorang gadis cilik berkacamata tebal tersenyum di ranjang rumah sakit. Selang infus terlihat jelas di tangannya yang kurus. Di sudut foto tertulis coretan pensil yang sudah memudar: "Untuk Ayah, dari Lina yang berani".
Edelle menarik napas dalam. Bau pinus dan tanah lembap memenuhi paru-parunya. "Kamu gila," bisiknya, tapi tangannya sudah meraih carabiner tambahan dari tas dengan gerakan kasar. Suara logam berdentang keras di udara yang sunyi. "Aku turun duluan. Ikuti taliku, jangan lepas."
Lelaki itu tersentak. Mata birunya yang redup tiba-tiba berbinar. "Kenapa kamu bantu aku?"
"Soalnya..." Edelle mengikat tali dengan kencang, suara nilon bergesekan terdengar nyaring. "...aku kehilangan ibuku karena kanker paru dua tahun lalu." Suaranya pecah sebentar. "Dan aku akan sangat senang kalau ada seseorang yang ngasih dia setangkai Edelweiss sebelum..."
Ia tidak menyelesaikan kalimatnya.
Mata lelaki itu berkaca-kaca ketika sinar matahari terakhir menyentuh wajahnya. Saat itulah Edelle melihat sesuatu di batang bunga yang menyembul di kantongnya—ukiran kecil berbentuk "Lina" yang diukir dengan pisau saku. Goresannya dalam dan tidak rapi, seperti dilakukan oleh tangan yang gemetar penuh emosi.
"Terima kasih," desis lelaki itu. Suaranya pecah seperti es yang retak. "Aku Rangga."
Edelle hanya mengangguk. Di kejauhan, matahari terbenam menyala merah menyala seperti tanda bahaya, menciptakan siluet dua orang di tebing gunung yang seolah-olah menggantung di antara langit dan bumi. Kabut mulai naik dari lembah, perlahan-lahan menyelimuti mereka seperti selimut yang dingin.
==========
Ruang Perawatan Remaja, 2011 - Sore Hari
Lorong biru muda itu terlalu cerah untuk sebuah rumah sakit. Edelle berjalan pelan melewati deretan kamar remaja – di beberapa pintu tergantung papan nama dengan tulisan tangan, di antaranya kamar 307 bertanda "Lina R." dengan gambar bunga kecil di sampingnya.
Dia mengendus aroma khas yang tak bisa disembunyikan antiseptik mana pun: campuran obat, losion kulit kering, dan sedikit wangi lemon dari pembersih lantai.
Tok. Tok.
"Masuk!" Suara dari dalam kamar terdengar lemah tapi jelas.
Lina Rachman –sekarang enam belas tahun– sedang duduk di tempat tidur dengan laptop di pangkuannya. Rambutnya yang pendek dan ikal tumbuh kembali setelah kemoterapi terakhir, hitam pekat dengan beberapa helai uban prematur. Tangan kirinya terhubung ke infus, sementara tangan kanannya memainkan kalung logam berbentuk bunga Edelweiss.
"Pasti Kak Edelle," ujarnya tanpa menoleh. Layar laptop memperlihatkan foto Gunung Lawu. "Aku tahu dari cara Kakak mengetuk."
Edelle tertegun. Gadis ini memiliki mata yang persis seperti Rangga –biru pucat dengan semburat kelabu– tapi sorot matanya lebih tajam, lebih penuh kehidupan daripada ayahnya di tebing gunung sepuluh tahun lalu.
Di dinding kamar, ada foto-foto dokumenter kehidupan Lina.
"Ayahmu meninggal untuk bunga ini," bisik Edelle sambil mengeluarkan Edelweiss kering dari kotak kayu.
Lina menutup laptopnya perlahan. "Enggak, Kak," katanya sambil mengambil bunga itu dengan tangan kecilnya. "Dia meninggal untuk memberiku alasan untuk bertahan."
Dia membuka laci meja, mengeluarkan sebuah buku herbarium tua. Sepuluh Edelweiss tersusun rapi di halaman-halamannya, masing-masing dengan label tanggal.
"Setiap ulang tahun sejak aku berusia tujuh tahun," Lina membalik halaman, "bunga ini selalu muncul di bawah bantalku."
Edelle hanya menatapnya tanpa berkata-kata.
"Transplantasi sumsum tulangnya minggu depan," kata Lina tiba-tiba, jarinya mengetuk-ngetuk lengan tempat selang infus. "Kata dokter donornya cocok 80%." Dia membalik halaman album, menunjukkan foto dirinya berdiri di puncak Gunung Gede tahun lalu. "Aku janji sama Ayah akan melihat Edelweiss mekar setidaknya sampai 20 tahun."
Ketika Edelle berpamitan, Lina tidak mengantar. Edelle berbalik dan mendapati Lina masih terduduk di ranjangnya—siluet ramping dengan latar belakang jendela yang memantulkan matahari terbenam. Di tangannya, Edelweiss kering itu berkilau keemasan diterpa sinar sore.
==========
Kebun Raya Cibodas, 2023 – Musim Kemarau
Kabut pagi menyelimuti rumah kaca tropis seperti nafas bumi. Edelle membuka pintu kaca dengan kunci khusus, membiarkan sinar matahari pagi menyapu rak-rak tanaman langka. Di ujung ruangan, sebuah terrarium kaca setinggi manusia memancarkan kilau keemasan.
"Masih bertahan ya?" bisik Edelle sambil menyentuh kaca.
Di dalam terrarium itu, sepuluh batang Edelweiss tumbuh subur dalam susunan melingkar. Yang paling tengah—satu batang istimewa dengan akar menjalar seperti jaring laba. Kelopaknya yang putih bersih kontras dengan tanah vulkanik gelap di dasarnya.
"Bu Edelle! Yang baru mekar lagi!"
Rara, asisten mudanya yang berusia 19 tahun, berlari mendekat dengan tablet di tangan. Layarnya menunjukkan grafik pertumbuhan harian.
"Lihat nih, akar utamanya sudah tembus sampai dasar terrarium," ujarnya antusias. Jari Rara menunjuk ke bagian bawah kaca dimana serat putih akar terlihat berbelit seperti tulisan. "Aneh ya Bu, bentuknya mirip..."
Edelle tak perlu menyelesaikan kalimat itu. Pola akar itu membentuk huruf-huruf samar: L-I-N-A.
Pagi itu, ketika Edelle memeriksa buku catatan tua di mejanya, dia menemukan sesuatu yang aneh. Foto Gunung Lawu yang biasa dia simpan—gambar Rangga sedang memanjat—kini memiliki detail baru. Di bagian tebing yang dulu kosong, muncul bayangan samar seorang gadis kecil berkacamata sedang duduk di atas batu.
Di sudut foto, tertulis tanggal yang bukan tulisannya:
"Terima kasih untuk semua Edelweiss-ku. - L. 2023"
Ketika Edelle menoleh ke terrarium, sepuluh bunga Edelweiss tiba-tiba bergoyang meski tidak ada angin. Kelopak yang paling tengah berjatuhan satu persatu, membentuk lingkaran sempurna di tanah—persis seperti posisi duduk anak kecil di foto.
Di kejauhan, dari arah gunung, angin berbisik membawa suara yang sudah sepuluh tahun lebih tidak dia dengar:
"Aku sudah melihatnya mekar, Kak..."
Edelle tersenyum. Tangannya yang berkeriput sekarang memegang kalung logam berbentuk Edelweiss—hadiah terakhir Lina sebelum transplantasi. Di dasar terrarium, akar-akar putih itu terus tumbuh, merambat dan membentuk kata baru:
"Sampai bertemu di puncak berikutnya."
[END]
No comments:
Post a Comment