Pagi di Gang Sempit
Kabut pagi yang pekat menyelimuti gang seperti selimut kotor. Asap knalpot motor tua bercampur dengan uap nasi uduk yang baru matang dari warung sebelah, membentuk lapisan udara hangat-lembap yang menggelitik tenggorokan. Gazania mengerutkan hidung menahan bau anyir—campuran air comberan yang meresap ke dalam tanah dan bau amis ikan asin dari warung Tionghoa yang baru buka.
Lorong sempit itu hanya cukup untuk dua orang berjalan beriringan, dengan dinding-dinding rumah yang seolah ingin saling berpelukan. Gazania harus menekuk tubuhnya hampir 45 derajat untuk menghindari jemuran tetangga—sepasang celana dalam merah jambu yang masih meneteskan air hujan semalam, menitik ke tanah becek di bawahnya.
Kakinya yang hanya beralaskan sandal jepit murah menginjak lumpur hitam yang masih lembek dari banjir minggu lalu. Lumpur itu menyelusup di sela jari kakinya yang pecah-pecah, bercampur dengan butiran pasir tajam dan pecahan kaca kecil. Di tepi jalan, sebuah popok bekas tersangkut di jeruji jendela rumah nomor 14, bergoyang pelan seperti bendera kotor yang menandai wilayah kemiskinan.