Akar yang Terbongkar
Pagi itu, langit Jakarta terlihat seperti kertas foto lama yang menguning di tepiannya. Kabut asap dan debu konstruksi menggantung di antara gedung-gedung, membuat mata Hima perih setiap kali melirik ke luar jendela kamarnya. Ia duduk di lantai kamar yang sudah setengah kosong, punggung bersandar pada dinding yang masih meninggalkan bekas segiempat putih tempat sebuah pigura pernah tergantung selama dua puluh tahun.
Ponsel di sampingnya bergetar lagi. Tidak perlu dilihat, pasti Ibu. Sudah lima pesan berturut-turut sejak pukul tujuh pagi. Hima menarik napas dalam, menghembuskannya perlahan sambil menatap langit-langit kamar. Di sana masih ada jejak bintang-bintang fosfor yang ditempelkan Ayah ketika ia berusia delapan tahun—sekarang sudah pudar dan ada yang mengelupas.
"Notaris datang jam 3. Bawa KTP."
Lima kata yang membuat dadanya sesak. Hima meremas-remas kaus oblong abu-abu di pangkuannya—kaus lama Ayah yang tak sengaja terselip di antara tumpukan baju yang akan disumbangkan. Kain itu sudah tipis, tapi masih menyimpan aroma aftershave merek lama Ayah, wangi yang sudah sepuluh tahun tidak lagi mengisi rumah ini.