[Story #1-8] Kisah-Kisah Bunga: Gazania

Pagi di Gang Sempit


Kabut pagi yang pekat menyelimuti gang seperti selimut kotor. Asap knalpot motor tua bercampur dengan uap nasi uduk yang baru matang dari warung sebelah, membentuk lapisan udara hangat-lembap yang menggelitik tenggorokan. Gazania mengerutkan hidung menahan bau anyir—campuran air comberan yang meresap ke dalam tanah dan bau amis ikan asin dari warung Tionghoa yang baru buka.  

Lorong sempit itu hanya cukup untuk dua orang berjalan beriringan, dengan dinding-dinding rumah yang seolah ingin saling berpelukan. Gazania harus menekuk tubuhnya hampir 45 derajat untuk menghindari jemuran tetangga—sepasang celana dalam merah jambu yang masih meneteskan air hujan semalam, menitik ke tanah becek di bawahnya.  

Kakinya yang hanya beralaskan sandal jepit murah menginjak lumpur hitam yang masih lembek dari banjir minggu lalu. Lumpur itu menyelusup di sela jari kakinya yang pecah-pecah, bercampur dengan butiran pasir tajam dan pecahan kaca kecil. Di tepi jalan, sebuah popok bekas tersangkut di jeruji jendela rumah nomor 14, bergoyang pelan seperti bendera kotor yang menandai wilayah kemiskinan.  

[Story #1-7] Kisah-Kisah Bunga: Himawari

Akar yang Terbongkar


Pagi itu, langit Jakarta terlihat seperti kertas foto lama yang menguning di tepiannya. Kabut asap dan debu konstruksi menggantung di antara gedung-gedung, membuat mata Hima perih setiap kali melirik ke luar jendela kamarnya. Ia duduk di lantai kamar yang sudah setengah kosong, punggung bersandar pada dinding yang masih meninggalkan bekas segiempat putih tempat sebuah pigura pernah tergantung selama dua puluh tahun.

Ponsel di sampingnya bergetar lagi. Tidak perlu dilihat—pasti Ibu. Sudah lima pesan berturut-turut sejak pukul tujuh pagi. Hima menarik napas dalam, menghembuskannya perlahan sambil menatap langit-langit kamar. Di sana masih ada jejak bintang-bintang fosfor yang ditempelkan Ayah ketika ia berusia delapan tahun—sekarang sudah pudar dan ada yang mengelupas.

"Notaris datang jam 3. Bawa KTP."

Lima kata yang membuat dadanya sesak. Hima meremas-remas kaus oblong abu-abu di pangkuannya—kaus lama Ayah yang tak sengaja terselip di antara tumpukan baju yang akan disumbangkan. Kain itu sudah tipis, tapi masih menyimpan aroma aftershave merek lama Ayah, wangi yang sudah sepuluh tahun tidak lagi mengisi rumah ini.

[Story #1-6] Kisah-Kisah Bunga: Edelle

Gunung Lawu, 2001 – Senja

Kabut tebal menyelimuti punggungan gunung seperti selimut kapas yang basah. Edelle menginjak batu licin, nyaris tersandung saat suara kerikil berjatuhan menggema di tebing sebelah. Butiran kecil bebatuan meluncur ke jurang, menghilang dalam kegelapan yang dalam. Suhu enam derajat Celsius membuat setiap hela nafasnya mengeluarkan kabut putih pendek.

"Hey! Itu jalur longsor—!" teriaknya, tapi suaranya tenggelam dalam deru angin yang menderu di antara celah-celah bebatuan.

Dari balik tirai kabut yang bergulung-gulung, siluet seorang lelaki asing muncul perlahan. Jaket oranye menyala miliknya sudah compang-camping, sobekan di bagian lengan memperlihatkan kulit yang tergores batu. Tangan kanannya mencengkeram tebing dengan kuku yang penuh tanah, sementara tangan kirinya—

"Astaga, kamu metik Edelweiss?!" Edelle menjatuhkan tas carrier-nya dengan keras, suaranya memecah kesunyian pegunungan.